Kebudayaan dan Arsitektur
Tradisional.
Manusia beraktifitas mempertahankan hidup dan mengembangkan
kehidupan dimuka bumi ini, berbekal kemampuan berfikir secara ”metaforik” serta memanfaatkan seluruh indranya. Kemampuan
berfikir secara “metaforik” itu
terwujud dalam kreativitas penciptaan berbagai “symbol”, berisi ungkapan makna yang digunakan ketika berkomunikasi
menyampaikan pesan, kesan, harapan, pengalaman, bahkan ungkapan perasaan kepada
sesamanya.
Komunikasi secara simbolik itu dilakukan dengan efektif, etis dan
manusiawi untuk membangun kesepahaman. Dengan menggunakan simbol-simbol
yang diciptakannya, manusia dapat saling berhubungan baik secara langsung
maupun tidak, hingga pergaulannya kemudian semakian luas hingga menembus batas
antar personal, komunitas, etnis, nasion bahkan generasi pada suatu skala “interaksi” sosial budaya.
Ketika interaksi sosial budaya suatu masyarakat semakin luas maka
kian beragam dan kompleks jaringan yang dilakoninya. Semakin tinggi intensitas
interaksi sosial budaya yang dikembangkan oleh suatu komunitas lokal dalam
pergaulannya dengan komunitas diluarnya, maka semakin besar pula peluang
masyarakat tersebut untuk mengembangkan “kebudayaan”-nya.
Sebaliknya semakin terisolir suatu komunitas dari lintasan orbitasi sosial
budayanya, atau semakin mereka menutup diri dari pergaulan dengan luar
komunitasnya, maka semakin kuat pula hambatan yang dihadapi dalam mengembangkan
“budaya”nya.
Kini, dimasa interaksi sosial budaya masyarakat semakin luas dan
terbuka, mengarahkan mereka menuju suatu keadaan imajiner, dimana masyarakat
semakin mengabaikan batas geografis, etnografis, negara bahkan bangsa.
Ralp Linpton seorang antropolog kenamaan Amerika menyatakan bahwa
didunia ini tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan bahwa “kebudayaannya” masih asli. Selebihnya merupakan hasil tukar
menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan yang diserap secara murni ataupun
dimodifikasikan. Demikian pula sebagian besar pengembangan unsur kebudayaan “setempat” biasanya merupakan pengembangan yang diilhami oleh pengaruh
kontak “budaya” dengan
pihak luar.
Di Indonesia, perkembangan semangat demokrasi dan reformasi
menjadi fenomena umum yang turut mendorong terjadinya pola interaksi
sosial budaya baru. Masyarakat semakin terbuka. Suka tidak suka, perkembangan
demokrasi dan reformasi tersebut telah mendorong pengaruh yang memberi dampak
positif sekaligus negatif. Perkembangan positif yang telah terjadi adalah
berkembangnya keterbukaan, transparansi, penegakan hukum dan hak azasi, memberi
warna dan nuansa baru dalam tatanan pergaulan dan kehidupan kemasyarakatan,
baik di tingkat lokal, regional maupun global. Sebaliknya, dampak negatif juga
pasti terjadi, karena meningkatnya transportasi dan informasi yang mengantarkan
“budaya” baru. Bila tidak ada filterisasi dan proteksi secara dini, keterbukaan
dapat mengakibatkan infiltrasi kebudayaan yang membawa nilai-nilai baru yang
tidak semuanya baik dan sesuai dengan nilai luhur yang dimiliki hingga dapat
menimbulkan dekadensi kebudayaan. Kebudayaan lokal akan cenderung semakin
terpuruk dan akhirnya porak poranda kehilangan identitas. Kondisi ini, kian
diperparah karena anutan “model”
pembangunan di Indonesia, sementara masih lebih bertumpu pada prioritas pembangunan
ekonomi yang kapitalistis.
Dalam masyarakat kapitalistis, nilai ekonomis cenderung menjadi
tujuan utama yang sangat kuat menonjol, serta mempengaruhi sendi kehidupan
secara keseluruhan. Sementara disisi lain nilai-nilai non ekonomi, nilai-nilai
batin dan nilai-nilai “spiritual” terus
tergerogoti hingga keberadaannya merosot tajam. Ukuran keberhasilan seseorang
cenderung dinilai dalam pencapaian skala materialistis -“ekonomi kebendaan” semata. Sementara
nilai-nilai moral, nilai-nilai batin dan spiritual, nilai kewibawaan, keadilan
dan nilai-nilai “kearifan budaya leluhur”
terabaikan, bahkan nilai-nilai itu seolah menjadikan semacam komoditas eceran.
Kondisi seperti itu diperparah lagi dengan kekurangsiapan sebagian
besar masyarakat Indonesia mengantisipasi kemajuan yang sangat pesat dibidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi komunikasi dan teknologi informasi
sudah semakin canggih. Keberadaannya telah secara cepat menjadi katalisator
yang sangat cepat, menarik dan mentransformasi masuknya kebudayaan mancanegara.
Orang-orang ingin serba bergegas cepat. Tak heran jika yang nampak pesat
berkembang kemudian adalah budaya opportunis dan hedonis yang lebih
mengunggulkan rasio-“kebudayaan otak”,
berbanding terbalik dengan sensitifitas “kebudayaan
rasa” yang cenderung pelan karena segala sesuatu perlu proses dan
pengendapan, penghayatan. Kebudayaan rasa berintikan pada proses, solidaritas
dan empati bagi sesama. Suatu yang sesungguhnya memiliki tempat terhormat dalam
kepribadian bangsa Indonesia sebagai wujud dari “nilai warisan” nenek moyang bangsa.
Dampak berbagai dari kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, telah menjadikan batas-batas antar bangsa sudah semakin tidak jelas,
hampir semua aspek kehidupan bangsa sudah saling berinteraksi secara bebas,
bercampur. Komunitas etnis atau masyarakat tradisional perlahan memudar, mereka
sudah sangat sulit untuk hanya mempertahankan ciri khas “budaya” lokalnya sebagai unggulan warisan leluhur mereka saja. Keluhuran
budaya lokal yang adiluhung dan bersahaja itu, kian tercemari nilai-nilai
kebendaan dan pragmatisme. Kenyataannya terlihat pada apa yang terjadi didunia
pendidikan, banyak orang yang mengabaikan mutu, sementara yang dikejar adalah
bagaimana cara memperoleh selembar ijazah. Ukuran terhormat bagi seseorang
hanya dinilai pada pencapaian prestasi sesaat, atau bagaimana memperoleh
kekayaan sebanyak-banyaknya, penguasaan power kekuasaan sebesar-besarnya tetapi
mengabaikan bagaimana cara atau proses mencapainya.
Padahal, masyarakat tradisional Indonesia sesungguhnya sangat
percaya akan pentingnya suatu proses yang membentuk tatanan, acuan tetap, yang
mengatur segala apa yang terjadi secara harmonis. Tatanan atau acuan itu
bersifat “Stabil”, “Selaras” dan “kekal’” karena
lahir dari proses yang panjang. Kepercayaan dan pemahaman akan tatanan dan
acuan yang mengatur itu kemudian mengendap, mengkristal, menjadi landasan nilai
“budaya”, menjadi sumber segala
anutan, ukuran kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Sesungguhnya, apapun yang
dilakukan manusia haruslah sesuai atau selaras dalam harmoni tatanan kehidupan
alam sekitarnya. Bila tidak bertentangan dengan keselarasan dan harmoni alam,
niscaya hidup manusia akan tenang dan damai. Sebaliknya perbuatan manusia yang
menyimpang dari tatanan dan aturan itu, akan menjadi “dosa”, penyimpangan yang bisa berakibat terjadinya sangsi, hukuman
pembawa malapetaka.
Pada masyarakat tradisional Indonesia, perbuatan manusia itu
selalu berdimensi dua atau “dwimatra”; yaitu
“mistik” dan “simbolik”. Untuk mengungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia
menggunakan tanda – tanda atau “simbol”. Ada dua
macam tanda penting, pertama : “mitos asal”, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan
asal kejadian masa lalu. Kedua : “Ritual” berupa upacara atau perlakuan simbolis yang berfungsi atau
dimaksudkan untuk memulihkan harmoni tatanan alam agar tetap selaras dengan
manusia, agar manusia dapat terhindar dari malapetaka dan mendapatkan
keselamatan serta kesejahteraan dalam kehidupan. Itulah dasar-dasar filosofi
yang mewarnai “Budaya”
masyarakat tradisional Indonesia.
Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam
budaya “kosmologi” yang menyeluruh. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas
dan berpusat pada kehidupan dirinya sendiri, “Egocentrum”.
Kemudian manusia mengembangkan diri melalui dorongan naluri dan nalarnya guna
memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan ”egocentrum”
kemudian berubah menjadi bagian integral dari kehidupan habitat sekitarnya,
yang diatur dalam sebuah tatanan “budaya” atau “kebudayaan”.
Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang
hanya hidup dalam suasana kepercayaan leluhur semata yang di pengaruhi oleh “ethos budaya” lokal yang ekslusif serta mempunyai
sifat-sifat khusus. Kekhususan itu ditandai dari cara mereka mempertahankan
suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan “habitat” sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan
lingkungan sekitarnya, menjadi pola pengendali hubungan antar manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya itu
didasarkan pada anggapan bahwa eksistensi hidup ada dalam rangkuman makrokosmos
alam raya. Suatu tatanan yang selalu “teratur”, “tersusun” dan “berulang” secara “hirarkis” otomatis
dalam sebuah “tatanan budaya” yang
terjaga.
Ketika bicara tentang “kebudayaan” secara
komprehensif, maka “arsitektur” adalah salah satu wujud hasil karya seni budaya. Keterkaitan
hubungan antara kebudayaan suatu bangsa dengan arsitektur, tergambar pada
telaahan masing –masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada
unsur – unsur ”konsep”, cara “membangun”dan “wujud
nyata” dari “bangunan” sebagai suatu lingkungan buatan dalam rekayasa lingkungan
sekitarnya. Telaahan “kebudayaan” selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran “idea”, perbuatan, sikap dan prilaku “behavior” serta hasil karya seni “artefak”.
Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah
satu wujud kebudayaan yang dapat dijadikan cerminan dari kehidupan manusianya,
dari masa ke masa. Arsitektur
sebagai unsur kebudayaan, laksana salah satu bentuk bahasa “non-verbal” manusia yang bernuansa simbolik. Arsitektur
adalah alat komunikasi manusia secara “non
verbal” yang
mempunyai nuansa sastrawi. Tidak jauh berbeda dengan sastra verbal yang metaforik.
Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana metafor keindahan, dari
sudut pandang itu akan dikenali karakteristiknya. Dalam naskah kuno sastra jawa
dan kitab sastra “lontara” Bugis
Makassar secara jelas dapat ditemukan relevansi antara lingkungan dan kehidupan
budaya manusia, hal tersebut terwujud pada penggambaran bentuk “rumah adat” yang diciptakannya.
Sumber : Tjahjono, Ed., 1999
Gambar 1. Rumah Tradisional Nusantara
“Konsep Arsitektur
Tradisional Sulawesi Selatan ”
Dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang
menyangkut kehidupan masyarakat selalu dilakukan bersendikan adat istiadat.
Adat istiadat menjadi semacam pedoman dalam berpikir dan bertindak sesuai pola
kehidupan masyarakatnya. Terwujud baik dalam tingkah laku, cara berinteraksi,
termasuk perlakuan dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam
sekitarnya.
Adat istiadat dan kepercayaan adalah warisan nenek moyang yang
mengisi inti kebudayaan. Hal tersebut dipercaya sebagai warisan yang diterima
langsung dari sang pengatur tata tertib kosmos untuk menjadi pengarah jalannya
lembaga-lembaga sosial. Oleh sebab itu berbagai upacara, pesta dan upacara
kemasyarakatan yang berdasarkan pada adat istiadat, tetap diadakan untuk
menjaga kesinambungan dan pelestarikan prosesi budaya bangsa. Termasuk tata
cara atau prosesi pembuatan rumah.
Tata cara pembuatan rumah menurut konsep arsitektur tradisional
Sulawesi Selatan, merujuk pada pesan atau wasiat yang bersumber dari
kepercayaan dan adat istiadat yang dianut masyarakat Sulawesi Selatan; mulai
dari pemilihan tempat, penentuan arah peletakan rumah, bentuk arsitektur, hingga
penyelenggaraan upacara ritual ketika proses membangunnya.
Konsep Bugis Makassar
Konsep arsitektur masyarakat tradisional Bugis-Makassar bermula
dari suatu pandangan hidup ontologis, bagaimana memahami alam semesta secara “universal”. Filosofi
hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut “Sulapa Appa”, menunjukkan upaya untuk“menyempurnakan diri”. Filosofi
ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika
berbentuk “Segi Empat”.Filosofi yang bersumber dari “mitos” asal mula
kejadian manusia yang diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu : tanah, air,
api, dan angin.
Bagi masyarakat tradisional Bugis-Makassar yang berfikir secara
totalitas, maka rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh pemahaman: “Struktur kosmos” dimana alam terbagi atas
tiga bagian yaitu “alam atas” , “alam tengah”, dan “alam bawah”,. Abu Hamid (1978:30-31)
dalam “Bingkisan Budaya Sulawesi
Selatan” menuliskan bahwa rumah tradisional orang Bugis tersusun
dari tiga tingkatan yang berbentuk “segi empat”, dibentuk dan dibangun
mengikuti model kosmos menurut pandangan hidup mereka, anggapannya bahwa alam
raya (makrokosmos) ini tersusun dari tiga tingkatan, yaitu alam atas atau“banua atas”, alam tengah “banua tengah” dan alam bawah “banua bawah” . Benua atas adalah tempat dewa-dewa
yang dipimpin oleh seorang dewa tertinggi yang disebut “Dewata Seuwae” (dewa tunggal), bersemayam
di “Botting-Langik” (langit
tertinggi). Benua tengah adalah
bumi ini dihuni pula oleh wakil-wakil dewa tertinggi yang mengatur hubungan
manusia dengan dewa tertinggi serta menggawasi jalannya tata tertib kosmos. Benua bawah disebut “Uriliyu” (tempat yang paling dalam)
dianggap berada di bawah air. Semua pranata-pranata yang berkaitan dengan
pembuatan atau pembangunan rumah harus berdasarkan kosmologis yang diungkap
dalam bentuk makna simbolis-filosofis, yang diketahuinya secara turun-temurun
dari generasi kegenerasi.
Menurut Mangunwijaya (1992:95-96), bahwa bagi orang-orang dahulu,
tata wilayah dan tata bangunan alias arsitektur tidak diarahkan pertama kali
demi penikmatan rasa estetika bangunan, tetapi terutama demi kelangsungan hidup
secara kosmis. Artinya selaku bagian integral dari seluruh “kosmos” atau
“semesta raya” yang keramat dan gaib.
Beberapa hal yang penting diketahui bahwa dalam proses mendirikan
rumah pada masyarakat tradisional Bugis-Makassar, mereka selalu meminta
pertimbangan dari “Panrita Bola” atau Panre bola untuk pencarian tempat,
menunjukkan arah yang dianggap cocok dan baik.Panre
Bola menguasai
ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah; dimulai dari pemilihan
jenis kayu, menghitung berapa tiang(aliri), berapa
pasak (pattolo) yang akan
dipakai, Termasuk pengerjaan elemen-elemen atau ornamen bangunan rumah hingga
akhirnya merekostruksi rumah yang diinginkan serta perlengkapannya. Dalam hal
ini peranan seorang Panrita Bola sangat
menentukan melalui nasehat-nasehat mereka yang akan menjadi pegangan bagi
penghuni rumah; kepercayaan tentang adanya pengaruh kosmologis sudah sangat
dimaklumi masyarakat Bugis-Makassar.
Beberapa wasiat yang menjadi perhatian dalam hal menentukan arah
rumah pada masyarakat tradisional Bugis-Makassar misalnya: sebaiknya menghadap
kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, atau menghadap ke salah
satu arah mata angin.
Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang selalu
diperhitungkan adalah pemilihan waktu saat mendirikan rumah. Adapun hari
ataupun bulan yang baik, biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang
memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.
Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh serangkaian
upacara-ritual. Pada tahap selanjutnya secara berurutan mulailah mendirikan
rumah dengan mengerjakan pemancangan tiang pusat rumah yang disebut ”posi’bola” terlebih
dahulu, menyusul pemasangan tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan selesai
dikerjakan secara keseluruhan.
Seperti kebanyakan rumah tradisional di indonesia, rumah Bugis
Makassar juga dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah
tradisional Bugis-Makassar pada dasarnya terwujud dalam beberapa macam
yaitu :
- Rumah Kaum Bangsawan “Arung” atau “Karaeng”.
Untuk rumah bangsawan “Arung” atau “Karaeng” yang memegang jabatan, pada
puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebihsambulayang /timpalaja. Tiang kesamping dan
kebelakang berjumlah 5 hingga 6 batang, sedang untuk bangsawan biasa jumlah
tiang kesamping dan kebelakang 4 hingga 5 tiang.
- Rumah Orang Kebanyakan “Tosama”,
Untuk rumah “Tosama” atau
orang kebanyakan/masyarakat umum terdiri dari 4 buah tiang kesamping dan
kebelakang, puncaksambulayang/timpalaja hanya dua susun.
- Rumah Hamba sahaya “Ata” atau “Suro”,
Bentuk rumah “Ata” atau “Suro”- hamba sahaya berukuran yang
lebih kecil, biasanya hanya terdiri dari tiga petak, dengan sambulayang/ timpalaja yang
polos.
Pada umumnya rumah tradisional Bugis-Makassar berbentuk panggung
dengan penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu
:
-
Rakkeang / Pammakkang, terletak pada bagian atas. Disini melekat plafond tempat atap
bertumpu dan menaungi, juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan padi sebagai
lambang kehidupan/kesejahteraan pemiliknya. Selain itu dimanfaatkan menjadi
tempat penyimpanan atribut adat kebesaran.
- Ale
bola / kale balla, terletak pada bagian tengah. Dibagian
ini ada sebuah tiang yang lebih ditonjolkan diantara tiang tiang lainnya.
Ruangannya terbagi atas beberapa petak dengan masing – masing fungsinya.
Biasanya ruang ini menjadi tempat pusat aktivitas interaksi penghuni rumah.
- Awaso /
siring, terletak pada bagian bawah rumah. Bagian ini dimanfaatkan
sebagai tempat penyimpanan alat cocok tanam, alat bertukang, pengandangan
ternak, dan lain lain.
Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga
bagian yaitu :
-
“Lontang ri saliweng/padaserang dallekang”, letaknya
diruang bahagian depan.
-
“Lontang ri tengnga/padaserang tangnga”, terletak
diruang bahagian tengah.
-
“Lontang ri laleng / padaserang riboko”, terletak
diruang bahagian belakang.
Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan dibagian
belakang “Annasuang” atau “Appalluang”- ruang dapur, dan ruang
samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut “tamping”, serta ruang kecil di depan
rumah yang disebut “lego-lego” atau “paladang”- tempat berbincang atau
bercengkerama.
Sebagaimana diketahui dalam konsep arsitektur tradisional Bugis-
Makassar, memandang kosmos terbagi atas tiga bagian, maka secara struktural
rumah tradisional Bugis Makassar terbagi atas :
Struktur bagian bawah,
Berdirinya tiang ditunjang oleh beberapa konstruksi sambungan yang disebut: “Pattoddo” (Makassar), “Pattolo”(Bugis), berfungsi untuk
menghubungkan/menyambung antara tiang satu dengan tiang yang lainnya dengan
arah melebar rumah. Bahan biasanya dari kayu jati, batang kelapa, dan
lain-lain. “Palangga”(Makassar), “Arateng” (Bugis), terbuat
dari balok pipih yang panjangnya lebih sedikit dari panjang rumah. Bahan yang
digunakan dari bahan batang kelapa, lontar, bambu dan lain-lain. Fungsinya
yaitu: Penahan berdirinya tiang-tiang rumah, dan Sebagai dasar tempat
meletakkan pallangga caddi/tunabbe sebagai
dasar tumpuan lantai. Pada rumah bangsawan jumlahnya biasanya 5 hingga 6 batang
(sesuai petak rumah),untuk rakyat biasa 4 batang. Pondasi/ “Umpak”, tempat meletakkan tiang agar tidak bersentuhan langsung dengan
tanah.
Struktur badan rumah, komponen
komponen utama bagian ini adalah :
1.
Lantai, berdasarkan
status penghuninya maka lantai rumah tradisional terdiri dari ; Untuk golongan
bangsawan “Arung”,lantai rumah biasanya tidak rata karena adanya “tamping” yang berfungsi sebagai sirkulasi, bahan lantai dari papan.
Sedangkan untuk golongan rakyat biasa “Tosama”
umumnya rata tanpa tamping. Golongan hamba sahaja “Ata” umumnya dari bambu.
2.
Dinding untuk
bahan penutup digunakan gamacca, papan, dengan sistem konstruksi ikat dan
jepit. Konstruksi balok
anak,merupakan penahan lantai, dan bertumpu pada balok pallangga lompo/arateng. Jumlahnya ganjil dengan
jarak rata-rata 20 hingga 50 cm.
Struktur dan konstruksi bagian atas rumah terdiri dari konstruksi
kap/atap yang merupakan suatu kesatuan yang kokoh dan stabil untuk menahan
gaya.
Komponennya terdiri atas : Balok
makelar “soddu” atau “suddu”. Terletak ditengah antara balok pengerat dan balok skor,
berfungsi sebagai tempat kedudukan balok bubungan dan kaki kuda-kuda.
Sistem konstruksinya dengan sistem ikat/takik pen, dengan ketinggian
disesuaikan dengan status penghuninya. “Arung”
= ½ lebar rumah + 1 siku + 1 jengkal telunjuk + 3 jari pemilik, Golongan
“Tosama” = ½ lebar rumah + 1
telapak tangan, Golongan “Ata” = ½
lebar rumah + 1 siku + tinggi kepala + kepalan tangan pemilik.
Kaki Kuda – kuda “Pasolle”.
Berfungsi sebagai tempat kedudukan balok-balok gording dan sebagai penahan
bidang atap sistem konstruksinya menggunakan sistem ikat, takik, dan paku pen.
Balok pasolla berbentuk pipih ± 3/12 cm. Balok bangunan “Coppo”, berfungsi sebagai tempat bertumpunya balok “suddu”, kaso, dan bahan atap. Sistem konstruksinya, balok bubungan
diletakkan diatas balok makelar yang ditakik kemudian diperkuat dengan paku
pen, dimensi balok ± 4/12 cm.
Balok pengerat “Pattoddo riase” atau “Pannoddo”, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dari tiap
baris arah lebar rumah. Panjangnya lebih sedikit dari lebar rumah, dimensi 4 x
12,5 x 14, atau 6 x 15 cm. Sistem konstruksinya, bila tiang dari bahan bambu
maka tiang dan balok pengerat ditakik ± 1/3 dari diameter, kemudian diikat.
Bila segi empat, tiang dilubangi setebal penampang balok pengerat kemudian
padongko di tusuk pada setiap lubang dari tiang. Bahan biasanya batang lontar,
kelapa, jati, dan lain-lain. Balok blander “Bare” atau “Panjakkala”, adalah balok yang menghubungkan ujung atas
tiang dalam arah memanjang. Fungsinya adalah sebagai ring balok, pendukung
kaso, tempat memasang timpalaja dan
tempat meletakkan balok rakkeang. Sistem
konstruksinya biasanya menggunakan pen, ikat, dan diperkuat dengan pasak. “Barakapu”, sebagai tempat memakukan / mengikat papan lantai “Rakkeang” atau “Pammakkang”.
Rakkeang/Pammakkang, sebagai
tempat penyimpan barang dan lain-lain, bahannya dapat berupa bambu atau papan.
Sistem konstruksinya, jepit dan ikat.
“Sambulayang” atau “Timpalaja”,
merupakan bagian konstruksi atas yang berupa bidang segitiga dan dibuat
berlapis. Sistem konstruksinya, rangka utama berpegang, bertumpu pada balok
nok, pada kedua ujung bagian bawah terletak pada balok “Pattikkeng”.
Les plank “Ciring”, berupa
papan yang dipasang pada ujung sisi depan dan belakang atap. Fungsinya sebagai
penahan angin yang berpegang pada balok gording dengan sistem sambungan pen dan
lubang, ujungnya kadang diberi hiasan “Ornamen”. Atap,
bahan dari nipa, rumbia, alang alang, atau daun lontar. Bentuk pelana dengan
sudut antara 30 hingga 40°.
Ragam Hias dan Ornamen
Ragam hias “Ornamen” pada
rumah tradisional Bugis-Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari
bentuk dan corak rumah tradisional Bugis-Makassar. Selain berfungsi sebagai
hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias
umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari corak alam, flora dan fauna.
Ornamen corak alam; Umumnya
bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan islam.
Ornamen flora corak tumbuhan , Umumnya
bermotifkan bunga/ kembang, daun yang memiliki arti rejeki yang tidak putus
putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, disamping motif yang lainnya.
Ornamen fauna corak
binatang, Umumnya
bentuk yang sering ditemukan adalah : Kepala kerbau yang disimbolkan sebagai
bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial. Bentuk
naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan yang
dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian,
agar kehidupan dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan membawa
keberuntungan.
Penempatan ragam hias ornamen tersebut utamanya padasambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan
ragam hias tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi.
Gambar 2. Rumah Tradisional Bugis Makassar
Konsep Mandar
Identitas Arsitektur Tradisional Mandar tergambar dalam bentuk
rumah tradisional yang disebut ”boyang” . dikenal
adanya dua jenis boyang,yaitu : ”boyang adaq” dan ”boyang beasa”. ”Boyang adaq” ditempati
oleh keturunan bangsawan, sedangkan ”boyang
beasa” ditempati oleh orang biasa. Pada ”boyang
adaq” diberi penanda sebagai simbolik identitas tertentu sesuai tingkat
status sosial penghuninya. Simbolik tersebut, misalnya ”tumbaq layar” yang bersusun antara 3
sampai 7 susun, semakin banyak susunannya semakin tinggi derajat kebangsawanan
seseorang. Sedangkan pada boyang beasa, ”tumbag
layar” nya tidak bersusun. Simbolik lain dapat dilihat pada struktur tangga.
Pada boyang adaq,
tangganya terdiri atas dua susun, susunan pertama yang terdiri atas tiga anak
tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan atau sebelas anak tangga.
Kedua susunan anak tangga tersebut diantarai oleh pararang. sedangkan boyang beasa,tangga tidak bersusun.
Rumah tradisional Mandar berbentuk panggung yang terdiri atas tiga
bahagian, sama ”Ethos Kosmos” yang
berlaku pada etnis Bugis Makassar. Bagian pertama disebut ”tapang” yang letaknya paling atas,
meliputi atap dan loteng. Bagian kedua disebut ”roang
boyang” , yaitu ruang yang ditempati manusia, dan bagian ketiga disebut ”naong boyang” yang letaknya paling bawah.
Demikian pula bentuk pola lantainya yang segi empat, terdiri atas ”tallu lotang” (tiga petak). Petak pertama
disebut”samboyang” (petak
bagian depan), petak kedua disebut ”tangnga
boyang” (petak bagian tengah) dan petak ketiga disebut ”bui’ lotang”(petak belakang).
Tatanan dan aturan rumah adat, tiga susun dan tiga petak
menunjukkan makna pada filosofi orang Mandar yang berbunyi : ”da’dua tassasara, tallu tammallaesang” (dua tak
terpisah, tiga saling membutuhkan). Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah
aspek hukum dan demokrasi, sedangkan tiga saling membutuhkan adalah aspek
ekonomi, keadilan, dan persatuan.
Struktur bangunan rumah orang mandar, terdiri dari bagian paling
atas, yaitu ”ate” (atap).
Atap rumah berbentuk prisma yang memanjang ke belakang menutupi seluruh bagian
atas rumah.
Pada masa lalu, rumah-rumah penduduk, baik boyang adaq maupunboyang beasa menggunakan atap rumbia. Hal
ini disebabkan karena bahan tersebut banyak tersedia dan mudah untuk
mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat ”tumbaq
layar” yang memberi”identitas” tentang status penghuninya. Pada ”tumbaq
layar” tersebut dipasang ornamen ukiran bunga melati. Di ujung bawah atap, baik
pada bagian kanan maupun kiri diberi ornamen ukiran burung atau ayam jantan.
Pada bagian atas penutup bubungan, baik di depan maupun belakang dipasang
ornamen yang tegak ke atas. Ornamen itu disebut”teppang”.
Di bawah atap terdapat ruang yang diberi lantai menyerupai lantai
rumah. Ruang tersebut diberi nama ”tapang”. Lantai tapang tidak menutupi seluruh
bagian loteng. Pada umumnya hanya separuh bagian loteng yang letaknya di atas
ruang tamu dan ruang keluarga. Tapangberfungsi
sebagai gudang untuk menyimpang barang-barang. Bila ada hajatan dirumah
tersebut, tapang berfungsi
sebagai tempat menyimpan bahan makanan sebelum dihidangkan atau
didistribusikan. Pada masa lalu, ”tapang” tersebut
sebagai tempat atau kamar calon pengantin wanita. Ia ditempatkan pada kamar
tersebut sebagai tindakan preventif untuk menjaga ”siriq” (harga
diri). Untuk naik ke tapang, terdapat
tangga yang terbuat dari balok kayu atau bambu. Tangga tersebut dirancang untuk
tidak dipasang secara permanen, hanya dipasang pada saat akan digunakan.
Rumah orang Mandar, baik boyang
adaq maupun boyang beasamengenal
tiga petak ruangan yang disebut lotang. Ruangan
tersebut terletak di bawah tapang yang
menggunakan lantai yang terbuat dari papan atau bilah bambu. Adapun ketiga
”lotang” ruangan tersebut adalah : ”Samboyang”, yaitu
petak paling depan. ”Tangnga boyang”, petak
bagian tengah rumah. Petak ini berfungsi sebagai ruang keluarga, di mana
aktivitas keluarga dan hubungan sosial antara sesama anggota rumah tangga. ”Bui’ boyang”, petak
paling belakang. Petak ini sering ditempatkan ”songi” (kamar)
untuk anak gadis atau para orang tua seperti nenek dan kakek. Penempatan songi untuk anak gadis lebih
menekankan pada fungsi pengamanan dan perlindungan untuk menjaga harkat dan martabat
keluarga. Sesuai kodratnya anak gadis memerlukan perlindungan yang lebih baik
dan terjamin.
Ketiga petak di dalam roang
boyang tersebut memiliki ukuran lebar yang berbeda. Petak yang di tengah
biasanya lebih lebar dibanding dengan petak-petak yang lainnya. Sedangkan petak
yang paling depan lebih lebar dibanding dengan petak yang paling belakang.
Khusus pada boyang adaq, di dalam roang boyang terdapat ruangan atau petak
yang lantainya lebih rendah ”tambing” atau ”pelleteang”.Letaknya selalu dipinggir
dengan deretan tiang yang kedua dari pinggir, mulai dari pintu depan ke
belakang. Ruangan ini merupakan tempat lalu lalang anggota keluarga. Olehnya
itu, pemasangan lantai yang terbuat dari papan agak dijarangkan agar berbagai kotoran,
seperti debuh, pasir, dan sebagainya dapat lebih mudah jatuh ke tanah. Selain
itu, ruang ini juga berfungsi untuk menerima tamu dari kalangan masyarakat
biasa danata (budak).
Bangunan tambahan yang diletakkan di belakang bangunan induk
disebut”paceko” (dapur).
Bangunan tersebut biasanya dibuat secara menyilang dengan bangunan induk.
Panjangnya minimal sama dengan lebar bangunan induk, dan lebarnya minimal sama
dengan satu petak bangunan induk. Bangunan ini disertai ruang yang lapang,
sehingga mempunyai banyak fungsi. Pada ”paceko” juga
tersedia tempat buang air kecil yang disebut ”pattetemeangang”.
Bangunan tambahan yang ada di depan rumah yang disebut dengan”lego-lego” (teras). Bangunan ini
biasanya lebih sempit dibanding dengan bangunan tambahan bagian belakang.
Kendati demikian, bangunan tersebut tampak lebih indah dihiasi berbagai
ornamen, baik yang berbentuk ukiran maupun yang berbentuk garis-garis vertikal
dan horisontal. Fungsi bangunan ini adalah sebagai tempat sandaran tangga
depan, tempat istirahat pada sore hari dan tempat duduk sebelum masuk rumah.
Rumah tradisional Mandar, baik ”boyang
adaq” maupun boyang beasapada
umumnya mempunyai dua tangga, yaitu tangga depan dan tangga belakang. Setiap
tangga mempunyai anak tangga yang jumlahnya selalu ganjil. Jumlah anak tangga
pada setiap tangga berkisar 7 sampai 13 buah. Jumlah tersebut disesuaikan
dengan tinggi rumah. Pada umumnya,boyang
adaq memiliki
anak tangga yang lebih banyak, yaitu berkisar 11 sampai 13 buah. Sedangkan ”boyang beasa” sekitar 7
sampai 9 buah. Pada boyang adaq, tangga
depannya bersusun dua dilengkapi dengan pasangan. Sedangkan ”boyang beasa”, tangganya tidak bersusun
dan tidak dilengkapi pegangan.
Terdapat ruang di bawah lantai yang disebut ”naong boyang” (kolong rumah). Pada masa
lalu, kolong rumah hanya berlantai tanah. Ditempat itu sering dibuatkan ”rambang” sebagai kandang ternak. Ada
kalanya sebagai tempat manette (menenun)
kain sarung bagi kaum wanita.
Bagian yang lain pada rumah adalah rinding (dinding).
Dinding rumah terbuat dari kayu (papan) dan bambu (taqta dan alisi ). Pada
umumnya,boyang adaq mempunyai
dinding yang terbuat dari papan. Sedangkanboyang
beasa selain berdinding papan, juga ada yang berdinding taqtadan alisi, rumah
yang berdinding taqta dan alisi, penghuninya berasal dari
golongan ata (beasa). Dinding rumah dirancang dan dibuat sedemikian rupa sesuai
tinggi dan panjang setiap sisi rumah dan dilengkapi jendela pada setiap antara
tiang. Hal itu dibuat secara utuh sebelum dipasang atau dilengketkan pada tiang
rumah. Pembuatan dinding seperti itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan
pasangannya, demikian pula untuk membukanya jika rumah tersebut akan dibongkar
atau dipindahkan.
Mendirikan rumah ”boyang” melalui
suatu tahapan kegiatan yang meliputi persiapan, membangun ”boyang” dan hasil kegiatan berupa
”bangunan” atau rumah tradisional. Dalam proses persiapan ada beberapa hal yang
patut diperhitungkan, yaitu bahan baku yang tersedia dari lingkungan alam
sekitar (lokal) maupun dari luar (dari daerah lain), menyiapkan ”pappapia buyang” (tukang
dan ahli) sesuai latar belakang sosial budaya penghuninya. Gaya arsitektur
tradisional banyak dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang tersedia disekitar
lingkungan alam setempat.
Gambar 5. Boyang Adaq Mandar
Suatu bangunan rumah ”boyang” tidak hanya berfungsi sebagai
tempat tinggal, tetapi memiliki nilai dan makna tersendiri sesuai dengan adat
istiadat masyarakat tradisional Mandar. Olehnya itu, suatu rumah tradisional
memiliki ciri khas terutama pada tipologi, interior/eksterior, dan ornamen yang
ada didalamnya.
Membangun rumah tradisional mandar memerlukan beberapa rangkaian
kegiatan seperti musyawarah antar sesama keluarga atau kerabat, pemilihan
lokasi atau tempat mendirikan rumah, dan pengadaan bahan baku untuk tiang,
lantai, atap dan sebagainya.
Bagi orang Mandar, setiap akan membangun rumah ”boyang” senantiasa didahului dengan
suatu pertemuan antara seluruh keluarga atau kerabat. Dalam pertemuan tersebut
dilakukan musyawarah, yang biasanya dipimpin oleh anggota keluarga yang lebih
tua dan banyak tahu tentang nilai-nilai dan adat istiadat dalam masyarakat
tradisionalnya. Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam pelaksanaan musyawarah
dihadirkan pula pappapia boyang (tukang
ahli rumah). Musyawarah lebih diutamakan pada penilaian status sosial yang akan
menempati rumah tersebut. Sebab dari status sosial yang akan menempati rumah
tersebut. Dapat diketahui jenis dan bentuk rumah yang akan dibangun. Kalau yang
bersangkutan berstatus bangsawan, maka jenis rumah yang akan dibangun adalah ”boyang adaq”, bila yang bersangkutan
berasal dari golongan masyarakat biasa, maka rumah yang akan dibangun adalah”boyang beasa”. Dalam musyawarah tersebut
penilaian dan penentuan susunan tumbaq layar juga
dibicarakan.
Pemilihan waktu mendirikan ”boyang” juga
sangat penting, karena terkait dengan kepercayaan masyarakat tradisionalnya.
Menurut mereka, ada waktu yang baik dan ada waktu yang buruk. Waktu yang baik
selalu dihubungkan dengan ”keberuntungan” dan ”keselamatan”.Pemilihan waktu. Sedangkan
waktu yang buruk selalu dihubungkan dengan ”bala”, bencana
dan ketidak mujuran, karena itu kegiatan awal dalam memulai mengerjakan rumah
senantiasa berpedoman pada waktu-waktu baik, hari-hari baik adalah senin,
kamis, dan jumat. Bulan-bulan tertentu dianggap kurang baik, seperti Muharram,
Syafar, Jumadil Awal, dan Dzulkaiddah.
Pemilihan tempat mendirikan ”boyang” sangat
terkait dengan kepercayaan tradisi masyarakat tentang adanya tanah yang baik
dan kurang baik untuk dibanguni ”boyang”. Tanah
yang baik adalah tanah yang agak keras, tidak lembek. Biasanya berada pada
daerah yang relatif sedikit tinggi atau bukit. Selain itu, tanah tersebut
sebaiknya ”berbau wangi”. Tanah seperti ini memberi makna keharuman, agar
keluarga mereka kelak dapat memperoleh kebahagiaan, keharmonisan dalam rumah
tangga.
Orientasi rumah ”boyang” yang
paling baik adalah berorientasi pada arah yang mengandung makna positif, yaitu
arah timur tempat matahari terbit. Arah pergerakan matahari yang menanjak naik
mengandung makna kebaikan, yaitu selalu bertambah ”naik” . dalam
pengertian ini, yang diharapkan selalu bertambah adalah nasib baik, terutama
rezki dan amal kebijakan. Dengan arah rumah ketimur, cahaya matahari pagi dapat
menyinari ruang lego-lego hingga
kedalam rumah. Setelah agama Islam masuk di daerah Mandar, maka muncullah
pandangan baru bahwa arah barat juga baik. Arah barat dianggap menghadap ke
kiblat.
Sedangkan bahan bangunan diusahakan dan diambil dari lingkungan
alam sekitar. Penebangan ayu (kayu)
dan bambu biasanya disesuaikan dengan waktu baik. Waktu-waktu baik adalah sama
halnya pada saat memulai membangun rumah ”boyang”. Pada
saat menebang kayu, yang pertama harus ditebang adalah bahan untuk membuat possi arring (tiang pusat). Jenis kayu
yang diperuntukkan untuk possi arring tidaklah
sembarang, biasanya kayu ”sumaguri” dan ”cawe-cawe” . kedua jenis kayu tersebut
mengandung makna simbolis. Untuk jenis sumaguri mengandung makna ”empati kepada
seluruh masyarakat”. Jadi, jenis kayu tersebut banyak digunakan pada possi arriang rumah adaq. Sedangkan jenis
kayu cawe-cawe mengandung makna ”semangat atau mengairahkan”. Jenis kayu
tersebut pada umumnya digunakan untuk ”possi
arriang” rumah biasa. Hal ini dimaksudkan agar penghuninya kelak
senangtiasa bersemangat atau bergairah dalam mengarungi kehidupan dunia.
Penebangan kayu untuk ”possi
arriang” harus dilakukan oleh ”sando
boyang”. Sebelum melakukan penebangan, ”sando
boyang” melakukan upacara ritual yang dilakukan sendiri dirumahnya. Waktu
penebangan diupayakan pada hari-hari baik. Adapun hari baik menebangan kayu
untuk ”possi arriang” adalah hari
ke 14 terbitnya bulan, orang Mandar menyebutnya ”tarrang
bulan” (terang bulan), atau pada hari ke delapan sebelum tenggelamnya
bulan. Penebangan kayu dilakukan pada pagi hari sekitar jam 09.00. Penebangan
kayu dapat dilakukan oleh beberapa orang, tetapi pekerjaannya harus
dimulai oleh sando boyang. Ada hal
yang penting untuk diperhatikan dan diperhitungkan pada saat menebangan kayu,
yaitu kayu tersebut harus tumbang dan jatuh kearah matahari terbit. hal ini
dimaksudkan agar cahaya matahari senantiasa menerangi rumah yang akan dibangun.
Dalam pengertian ini terdapat makna simbolis, bahwa diharapkan kelak rumah yang
akan dibangun itu senantiasa dalam kondisi yang terang bercahaya.
Pembangunan rumah tradisional ”boyang”, dimulai
dari pembuatan tiang ”arriang”.
Setiap rumah memiliki tiang minimal 20 batang. Tiang tersebut diatur dan
disusun berjejer kesamping dan kebelakang. Setiap jejeran ke samping biasanya
terdiri atas lima batang. Sedangkan jejeran ke belakang biasanya empat batang
(tidak termasuk tiang paceko). Kelima
tiang yang berjejer ke samping diupayakan memiliki lekukan dan bengkok yang
sama. Dalam pembuatan ”arriang”, pekerjaan
pertama yang harus dibuat adalah ”possi
arriang” (tiang pusat). Setelah ”possi
arriang” usai dikerjakan, maka dilanjutkanlah pekerjaan pada seluruh tiang
rumah lainnya. Pekerjaan seluruh tiang tersebut harus diperhatikan
ujung-pangkalnya. Semua tiang pangkalnya harus berada di bawah, tidak boleh
terbalik.
Bagi rumah tradisional yang mempunyai paceko dan lego-lego, maka harus menggunakan
minimal lima tiang tambahan untuk Paceko dan dua
atau empat tiang untuk lego lego.
Rumah tradisional Mandar yang terdiri atas tallu lontang, jumlah pasak yang
dibutuhkan sebanyak 18 buah. Pasak tersebut terdiri atas empat untuk passolor, empat untuk baeq, lima araiang diaya dan aratang naong. Selain itu, bilamana rumah
tersebut mempunyai tambing, maka
harus ditambah lagi aratang diaya dan aratang naong masing-masing satu buah.
Bila rumah tersebut ditambah paceko, maka
harus ditambah lagi passollor dan baeq sebanyak lima buah.
Sedangkan aratang diayadan aratang naong masing-masing
dua buah. Selain pasak, terdapat pula balok kayu yang bentuknya pipih
menyerupai pasak. Kayu ini disebutpambalimbungan (tulang
punggung, paling diatas tempatnya). Jumlahnya tiga buah, masing-masing satu
buah untuk rumah induk,paceko dan lego-lego.
Lantai rumah tradisional Mandar terbuat dari papan (kayu) dan lattang,”Lattang” biasanya dipilih tarring (bambu) yang besar dan
sudah tua.Lattang ini biasanya dipakai pada lantai paceko.
Dinding rumah tradisional Mandar pada umumnya terbuat dari papan,alisi dan taqta. Pada
dinding sisi depan rumah, biasanya dilengkapi tiga”pepattuang” (jendela) dan satu ”ba’ba” (pintu). Dinding sisi depan
ini biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di bawah jendela. Pada dinding
sisi kanan dan kiri rumah biasanya juga dilengkapi denganpepattuang sebanyak dua atau tiga
buah.
Pepattuang berbentuk
segi empat yang rata-rata terdiri atas dua daun jendela yang berukuran sekitar
100 x 40 cm. Daun jendela itu dapat dibuka ke kiri dan ke kanan. Letak pepattuang biasanya berada antara dua
buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattuang ini
biasanya diberi ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang jumlahnya
selalu ganjil. Terali-terali tersebut ada yang dipasang secara vertikal dan ada
yang horisontal. Secara vertikal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan
Tuhannya. Sedangkan secara horisontal mempunyai makna hubungan yang harmonis
dengan sesama manusia. Pemasangan ornamen seperti itu hanya tampak pada jendela
yang ada di bagian depan dan sisi kiri kanan rumah. Pemasangan ornamen berupa
ukiran dan terali-terali juga dapat dilihat pada bangunan tambahan di depan
rumah, yaitu lego-lego.
Prosesi ritual menurut kepercayaan masyarakat tradisional
Mandar biasanya dimulai dari ”possi arriang”. Pada ”possi arriang” diikat lipaq(sarung) dan mukena atau kebaya. Sarung
melambangkan jiwa laki-laki dan kebaya atau mukena sebagai jiwa perempuan.
Kedua jiwa tersebut harus menyatu di dalam ”possi
arriang” kemudian tiang ”possi arriang”disiram
dengan air dari dalam cerek. Air yang tersisa di dalam cerek tadi dimasukkan
dalam botol kemudian digantung pada ”possi
arriang” . segala bahan kelengkapan upacara mattoddoq
boyang, seperti tebu, pisang, kelapa juga digantung pada ”possi arriang” . Bahan kelengkapan upacara
biasanya digantung setelah rumah berdiri.
Bilamana rumah ”boyang” akan
diberi tambahan bangunan, sepertipaceko dan lego-lego, maka setelah bangunan induk
berdiri tegak dilanjutkan pendirian tiang paceko. Tambahan
untuk Paceko biasanya
terdiri atas satu deretan tiang yang jumlahnya enam batang ditambah satu batang
di dekat tangga belakang. Setelah tiang berdiri, dilanjutkan pemasangan aratang naong dan aratang diaya yang dikuatkan denganpassanna. Seluruh tiang paceko juga diberi batu arriang. Setelah pendirian tiang paceko, dilanjutkan pula pada
pendirian tiang lego-lego.Untuk boyang adaq, jumlah tiang lego legonya sebanyak empat batang.
Sedangkan boyang beasa jumlah
tiang lego legonya sebanyak
dua batang.
Ragam Hias dan Ornamen
Pada umumnya rumah tradisional, baik rumah bangsawan maupun rumah
orang biasa di tana Mandar, memakai ”ragam
hias ornamen”.Pada bagian atap, dinding, plafon dan sebagainya. ”Ornamen” selain berfungsi sebagai
hiasan atau ornamen, juga berfungsi sebagai identitas sosial, dan makna-makna
budaya dalam masyarakat. Corak “ornamen”umumnya
bersumber dari alam sekitar manusia seperti flora, fauna, gambaran alam, agama
dan kepercayaan namun tidak semua flora, fauna dan sebagainya dapat dijadikan
corak “ornamen”.
Konsep Toraja
Etnis Toraja mendiami dataran tinggi di kawasan utara Sulawesi
Selatan. Pada umumnya wilayah permukiman masyarakat Toraja terletak di
pegunungan dengan ketinggian 600 hingga 2800m di atas permukaan laut.
Temperatur udara kawasan permukiman masyarakat Toraja berkisar pada 150 hingga 300C. Daerah ini tidak berpantai, budayanya
unik, baik dalam tari-tarian, musik, bahasa, makanan, dan kepercayaanAluktodolo yang
menjiwai kehidupan masyarakatnya. Keunikan itu terlihat juga pada pola
permukiman dan arsitektur tradisional rumah mereka, upacara pengantin serta
ritual upacara penguburannya.
Kondisi Tana Toraja, tang dipegunungan dan berhawa dingin diduga
mendasari ukuran pintu dan jendela yang relatif kecil, lantai dan dindingnya
dari kayu yang tebal. Ukuran atap rumah tradisional Toraja yang terbuat dari
susunan bambu sangat tebal. Wujud konstruksi ini sangat diperlukan untuk
menghangatkan temperatur udara interior rumah.
Masyarakat Tradisional Tana Toraja didalam membangun rumah
tradisional mengacu pada kearifan budaya lokal–Kosmologi mereka yaitu :
·
Konsep ‘pusar’ atau ‘pusat rumah’ sebagai paduan antara kosmologi
dan simbolisme
·
Dalam perspektif kosmologi, rumah bagi masyarakat Toraja merupakan
mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos.
·
Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap
menjulang menaungi ruang tengah rumah dimana atap menyatu dengan asap-father sky
·
Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a’riri possidi Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dimana tiang
menyatu dengan mother earth
Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga
mengenal filosofi “Aluk A’pa Oto’na” yaitu
empat dasar pandangan hidup : Kehidupan Manusia, kehidupan alam leluhur “Todolo”, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini
menjadi dasar terbentuknya denah rumah Toraja empat persegi panjang dengan
dibatasi dinding yang melambangkan “badan” atau “Kekuasaan”. Dalam kehidupan masyarakat
toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri,“Egocentrum”. Hal ini
yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak
tertutup dengan “bukaan” yang
sempit.
Selain itu konsep arsitektur tradisional toraja, banyak
dipengaruhi oleh ethos budaya “simuane tallang” atau
filosofi “harmonisasi” dua
belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan
bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi
didapati dalam konsep arsitektur “Tongkonan” yang
menginteraksikan secara keseluruhan komponen “tongkonan” seperti :
Rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, didalam satu sistem kehidupan
dan penghidupan orang toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan
mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional
toraja, dimana rumah dianggap sebagai “mikrokosmos”.
Gambar 3. Kosmologi dalam arsitektur Toraja
Sumber : Tjahjono, Ed., 1999
Gambar 4. Rumah tradisional Tongkonan Toraja
Tata letak rumah tongkonan berorientasi Utara – Selatan, bagian
depan rumah harus berorientasi Utara atau arah Puang Matua “Ulunna langi’”dan bagian belakang Rumah ke Selatan atau arah
tempat roh-roh “Pollo’na Langi’”.
Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan
pemeliharaan, pada arah Timur dimana para Dea “Dewata” memelihara dunia beserta isinya ciptaan “Puang Mutua”untuk memberi kehidupan
bagi manusia, dan arah Barat adalah tempat bersemayam “To Membali Puang” atau
tempat para leluhur “Todolo”. Atau
selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini
diterjemahkan menjadi satu kata sederhana yaitu “keseimbangan”dan
secara arsitektural “keseimbangan” selalu
diaplikasikan kedalam bentuk “simetris” pada
bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip dasar
Arsitektur Tradisional Toraja adalahsimetris,
keterikatan dan berorientasi.
Rumah Adat Tradisional
Tongkonan.
“Tongkonan”, rumah adat Toraja adalah merupakan bangunan yang sangat besar artinya, karena peranannya yang sangat penting
bagi kehidupan masyarakat Toraja. “Tongkonan” dalam
fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu :
- “Tongkonan Layuk”,
kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat.
- ” Tongkonan
Pokamberan/Pokaindoran”, yaitu rumah adat yang merupakan tempat
melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah.
- “Tongkonan Batu A’riri”, yaitu
tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai tempat persatuan dan
pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat pembinaan
warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.
-
“Tongkonan Pa’rapuan”,
fungsinya sama dengan Tongkonan Batu A’riri tetapi tidak boleh diukir seperti
tiga tongkonan diatas dan tidak memakai Longa.
Sedangkan fungsi dan kegunaan penataan lantai bangunan tradisional
rumah adat Toraja, dibedakan atas :
- ”Banua Sang Borong” atau ”Banua Sang Lanta”, adalah rumah untuk para
Pengabdi kepada Penguasa Adat, pada jaman sekarang ini banyak didapati di kebun
kebun. Pada rumah ini hanya terdapat satu tiang untuk melaksanakan kegiatan
sehari hari.
- ”Banua Dang Lanta’’”, adalah
bangunan yang tidak mempunyai peranan adat seperti ”Tongkonan Batu A’riri” yang terdiri dari dua
ruang yaitu Sumbung sebagai tempat tidur dan Sali sebagai dapur.
- ”Banua Tallung Lanta’’”, yaitu
bangunan pemerintahan adat Toraja yang mempunyai tiga ruang. Ruang ruang itu
adalah Sumbung, Sali dan Tangdo’ yang berfungsi sebagai tempat upacara
pengucapan syukur dan tempat istirahat tamu tamu.
- ”Banua Patang Lanta’’”, yaitu
bangunan tongkonan tertua dari penguasa adat yang memegang fungsi adat ”Togkonan Pasio’ aluk”.
Dalam proses pembangunan bangunan tradisional Toraja ini
pengerjaannya dibagi menjadi 2 tahap yaitu :
- ”Tahap Mangraruk”, yaitu
sebagai pekerjaan permulaan untuk mengumpulkan seluruh bahan bahan bangunan
yang diperlukan .
- ”Tahap Ma’ Tamben” atau ”Ma’ Pabendan”, yaitu membangun suatu tempat untuk menyimpan
bahan bangunan yang dinamakan “Barung” atau ”Loko Pa’ Tambenan”, dimana semua bahan
bangunan diolah diukur untuk persiapan pendirian bangunan tersebut.
Setelah semua pekerjaan tersebut diatas sudah selesai, dilanjutkan
dengan pengerjaan ”Ma’ Pabendan”.
Pekerjaan ini adalah pekerjaan permulaan dari pembangunan karena semua bahan
bangunan sudah disiapkan, melalui tahap-tahap sebagai berikut :
- ”Tahap Pabenden Leke’”, yaitu
tempat membuat bangunan yang merupakan tempat mendirikan bangunan sampai
selesai. Jadi bangunan rumah adat Toraja selama didirikan seolah olah tidak
terkena sinar matahari dan hujan.
- ”Tahap No’ton Parandangan’”, yaitu
mengatur dan menanam batu pondasi yang dipahat atau asli yang sudah cukup baik
untuk menjadi batu pondasi.
- ”Tahap Ma’ Pabendan’”, yaitu
mendirikan tiang tiang bangunan utama diatas batu parandangan yang sudah diatur
dalam ukuran persegi panjang.
- ”Tahap Ma’ A’riri Posi’”, yaitu
mendirikan satu tiang tengah bangunan yang merupakan salah satu tiang yang
mempunyai arti dalam pembangunan rumah adat Toraja.
- ”Tahap Ma’ Sangkinan
Rindingan”, yaitu pekerjaan memasang dinding pengosokan berjejer keliling
bangunan dan kayu Sangkinan Rindingan ini sama besar dan tingginya begitu pula
pada jarak pemasangannya kecuali pada bagian sudut bangunan.
- ”Tahap Ma’ Kamun Rinding”, yaitu
pemasangan semua dinding yang dimasukkan dari atas ke dalam Sangkinan Rinding
melalui semacam jaluran rel sebagai bingkai yang terpasang mati.
- ”Tahap Ma’ Petuo”, yaitu
pemasangan 4 buah kayu Ma’ Petuo sebagai tumpuan bagi kayu bubungan.
- ”Tahap Ma’ Kayu Beke’i”, yaitu
pemasangan kayu diatas kayu Ma’ Petuo sebagai tempat mengatur kayu kayu
membentuk segitiga dengan badan rumah.
-
”Tahap Ma’ Paleke’ Indo Tekeran”, yaitu
semua kayu yang panjangnya 3,5 m, dengan persilangan pada ujung atasnya dan
ujung bawahnya disambung pada kayu Rampanan Papa’ sebagai tempat mengatur kayu
kecil kecil yang bernama Tarampak.
- ”Tahap Ma’ Rampani”, yaitu
tempat menumpunya kayu Rampanan yang fungsinya mengikat dan mengatr atap.
- ”Tahap Ma’ Palaka Indo’ Para”, yaitu
merupakan bagian depan agak miring dari bagian atap bangunan.
- ”Tahap Ma’ Paringgi”, yaitu
pemasangan kayu pamiring yang membentuk longa dan berpangkal pada kayu Rampanga
Papa Longa.
- ”Tahap Ma’ Pabendan Tulak
Somba”, yaitu pemasangan kayu Tulak Somba menopang bagian depan
dan bagian belakang Longa.
- ”Tahap Ma’ Benglo Longa”, yaitu
tangga pembantu pemasangan semua bagian dari Longa dan bila telah selesai maka
Ma’ Benglo Longa dibongkar.
- ”Tahap Ma’ Papa”, yaitu
merupakan pekerjaan yang sangat berat karena pemasangan Tarampak sampai ke
bubungan tidak boleh berhenti.
Semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi
tertentu, fungsi fungsi tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari
bangunan itu tidak berubah yaitu atap menghadap keutara sebagai orientasi
bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan arsitektur bangunan
tetap sebagai dasar perancangan Tongkonan, karena adanya hubungan pandangan
keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.
Jadi bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan
struktur arsitekturnya antara lain ; rumah adat Toraja dibagi atas 2 bagian
besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke selatan yang dibedakan
dengan nama Kale Banua Matallo dan Kale Banua Matumpu’ yaitu bagian rumah
sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat.
Sedangkan bagian luar dan dalam dibagi sebagai berikut :
Interior rumah adat Toraja.
- ”Suluk Banua”, yaitu
kolong dari bangunan rumah yang dibentuk oleh tiang tiang yang dihubungkan oleh
sulur yang dinamakan roroan. Peranannya sebagai tempat mengurung hewan hewan
ternak pada malam hari untuk menjaga tuannya diatas rumah.
- ”Kale Banua”, yaitu
bagian badan dari bangunan yang terdiri dari ruang/petak mulai utara ke
selatan.
- ”Pentiroan”, yaitu
jendela jendela pada seluruh badan rumah yang kelihatan pada 4 sisi. Jendela
jedela itu adalah :
·
”Pentiroan Tingayo”, yaitu
2 buah jendela yang terletak dibagian muka rumah menghadap ke utara. Jendela
ini dapat terbuka dan tertutup setiap saat.
·
”Pentiroan Matallo”, yaitu
jendela yang terletak disebelah timur bangunan, pemasangannya pada tengah
bangunan pada ruang tengah. Jendela ini dibuka pada pagi hari dan dibuka terus
pada waktu upacara pengucapan syukur.
·
”Pentiroan Mampu’ ”, yaitu
jendela yang terletak disebelah barat bangunan. Jendela ini dibuka pada waktu
ada upacara pemakaman orang mati.
·
”Pentiroan Pollo’ Banua”, yaitu
jendela yang terletak dibelakang rumah menghadap ke selatan. Jendela ini
terbuka terus pada waktu upacara kematian atau bila didalamnya ada orang yang
sakit.
- ”Longa” bagian
menjulang dari atap bangunan di sebelah utara dan selatan. Lobang ini berjumlah
3 buah dan tidak tertutup dengan ukuran 10 x 15 cm.
- ”Rattiang” atau
disebut juga loteng yaitu bagian atas dari rumah yang sebagian ditutupi atap.
Berfungsi untuk menyimpan peralatan dan pakaian upacara adat.
Exterior rumah adat Toraja.
-
”Tingayo Banua” atau ”Lindo Banua”, yaitu bagian muka bangunan yang digunakan
sebagai tempat melakukan upacara pengucapan syukur dan pemujaan.
-
”Matallo Banua”, yaitu bagian sebelah
timur atau kanan bangunan sebagai tempat acara pemujaan kepada Deata.
- ”Matampu Banua”, yaitu
bagian bangunan sebelah barat.
- ”Pollo Banua”, yaitu
bagian belakang bangunan sebagai tempat pelepasan orang mati.
Ragam Hias dan Ornamen
Ragam hias “Ornamen” rumah
adat Toraja adalah sebagai berikut :
- ”Kabongo”, yaitu
kayu yang dibentuk seperti kepala kerbau dengan tanduk asli tanduk kerbau yang
mengartikan bahwa Tongkonan ini adalah Tongkonan pemimpin masyarakat dengan
kata lain tempat melaksanakan peranan dan kekuasaan adat Toraja.
- “Katik” adalah
bentuk kepala aya jantan yang berkokok. Perletakan Katik ini adalah diatas
kuduk dari Kabongo yang mengartikan pimpinan yang menjalankan pemerintahan pada
masyarakat tertentu.
- “A’riri Posi’” yaitu
tiang tengah pada bangunan rumah adat Toraja yang hampir kelihatan berdiri
sendiri diantara ruang selatan dan ruang tengah.
- “Tulak Somba” yaitu
tiang tinggi penopang ujung depan dan belakang bangunan adat Toraja yang
dinamakan Longa. Fungsinya sebagai tiang penopang sekaligus tempat melekatnya
tanduk karbau hasil pesta mendirikan rumah.
- “Passura” yaitu
ukiran tradisional pada bangunan adat Toraja yang bukan hanya sebagai hiasan,
tetapi melambangkan sesuatu hal atau kegiatan serta problem kehidupan
masyarakat.
“Arsitektur Tradisional
Sulawesi Selatan, Dari Masa Kemasa”.
Perkembangan arsitektur tradisional dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti : waktu, pengaruh budaya luar, pola hidup, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkembang. Dari masa lampau hingga masa kini ada 4 masa
perkembangannya yang dapat ditelusuri yaitu : Masa arsitektur
tradisional, Masa arsitektur klassik, Masa arsitektur modern serta Masa
arsitektur post modern.
Masa arsitektur tradisional : pada masa ini budaya asli dan pola
hidup masyarakat tradisional berkembang didalam masyarakat tanpa ada pengaruh
luar, arsitektur tradisional merupakan pilihan satu-satunya. Secara tradisi,
bangunan hanya berfungsi sebagai rumah tinggal ataupun sebagai tempat bermukim
keluarga.
Arsitektur tradisional sangat dipengaruhi oleh keadaan dan potensi
alam sekitarnya yang sering diambil menjadi motif utama pemberi corak. Terutama
pengaruh iklim, curah hujan, tumbuh-tumbuhan yang dipakai sebagai bahan
bangunan dan batu-batuan. Arsitektur tradisional Toraja misalnya, mempunyai
sudut kemiringan atap yang tajam karena curah hujan di daerah ini besar. Bambu
dipakai sebagai atap dan plafound karena banyak hutan bambu di Tana Toraja.
Demikian pula halnya bahan kayu yang dipakai sebagai tiang dan dinding.
Perihal ragam hias ornamen arsitektur tradisional Sulawesi Selatan
yang sering ditemukan dan banyak memberi warna, dipakai menghiasi dinding dan
tiang sesuai tradisi masing masing etnis. Ornamen dipakai sebagai ungkapan arti
simbol simbol suatu benda yang dianggap mempunyai arti khas dalam penghidupan
dan kehidupan masyarakat tradisional etnis bersangkutan.
Masa Arsitektur Klassik adalah masa berkembangnya arsitektur
klassik dari Eropa yang masuk ke Indonesia. Arsitektur Klassik disebut pula
“Arsitektur Kolonial” karena gaya ini hadir pada zaman kolonial. Model
arsitektur klasik sangat berbeda dengan arsitektur tradisional. Perbedaan itu
terlihat dalam hal konsep, prinsip dasar, bentuk tata ruang, bahan bangunan,
struktur dan konstruksi. Sejak masa ini, arsitektur tradisional mulai
tersisihkan.
Arsitektur Klasik mencakup gaya Renaissance,
Ghotic dan Barouq. Gaya
arsitektur ini lebih dikenal melalui rancangan Istana Raja dan Gereja di
Eropa, yang kemudian menyebar keseluruh dunia seiring penyebaran agama Katolik
dan Protestan.
Gaya gaya klasik ini terlihat pada Gereja yang lebih menekankan
pada konsep sakral yaitu : Manusia itu kecil dihadapan Tuhan. Para arsitektur
menerjemahkannya kedalam bahasa non verbal dengan menampilkan bangunan, ruangan
atau komponen bangunan yang berskala mega atau melampaui skala manusia.
Misalnya, bangunan besar dengan lantai atau permukaan tanah yang ditinggikan,
kolom yang besar, ruangan yang sangat luas dan plafond tinggi dan berorientasi
keatas. Cara penyelesaian arsitektur seperti ini dikenal sebagai cara untuk
memperoleh wibawa dan menekankan perasaan manusia yang berada di dekatnya atau
didalamnya sehingga merasa lebih kecil dan tidak berarti didekat bangunan atau
kolom yang besar, atau didalam ruangan yang luas dengan plafond yang tinggi
itu. Disini peran proporsi dan skala dari bangunan, ruang dan komponen sangat
penting.
Dimasa arsitektur klassik ini, penggunaan bahan bangunan, tata
ruang, bentuk bangunan, struktur dan konstruksi menjadi lain. Bahan bangunan
lokasi seperti ; kayu, bambu, dan rerumputan untuk bahan atap mulai kurang
dipakai. Karena semen, batu merah, beton dan besi jauh lebih menjamin kekuatan
dan keawetan bangunan. Arsitektur tradisional
yang lebih mengutamakan penggunaan bahan bangunan alamiah mulai dilupakan.
Gaya arsitektur klassik terus tumbuh, berkembang dan
mewarnai karakter berbagai bangunan penting, tidak hanya pada Gereja tetapi
juga bangunan Pemerintah Kolonial dan perumahan mereka. Begitupun ketika
pedagang Cina, masuk ke Indonesia, mereka juga membawa gaya arsitektur Cina,
seperti terlihat pada rumah ibadah “Klenteng” dan
perumahan didalam “Kampung Cina” yang
masih dapat dilihat di beberapa kota besar di Indonesia.
Masa Arsitektur Modern : Konsep arsitektur modern menekankan
faktor“fungsionalisme” dan “efesiensi” . Ilmu pengetahuan dan
teknologi arsitektur modern memberi warna lain bagi perkembangan
kearsitekturan, misalnya desain dan teknologi bahan bangunan. Konsep arsitektur
modern pada dasarnya lebih menekankan fungsionalisme dan efesiensi yang
mengutamakan kenikmatan penghuni dan keleluasaan ruang gerak manusia.
Pemakaian bahan bangunan pun menjadi lebih bebas dan beragam.
Dalam perkembangan selanjutnya, arsitektur modern ini mendominasi
karya-karya arsitektur di Indonesia. Ternyata arsitektur modern sebagai suatu
konsep yang mengutamakan fungsionalisme dan efisiensi itu lebih mampu mewadahi
aktifitas manusia moderen sampai sekarang.
Masa Arsitektur Post-Modern adalah model arsitektur masa kini.
Arsitektur Post –Modern ini memunculkan kembali arsitektur tradisional. Ini
juga menjadi suatu pertanda bahwa arsitektur di Indonesia sedang mencari bentuk
lain seiring dengan kecenderungan masyarakat dan para arsitek memanfaatkan
warisan budaya masa lampau untuk menemukan identitas baru yang dapat
dipakai sebagai simbol dalam era globaliasi ini. Identitas, karakter dan ciri
khas sangat penting untuk dihadirkan kembali. Pada masa ini,
funsionalisme dan efisiensi menjadi tidak mengikat lagi, mulai tidak
dipersoalkan.
Gaya arsitektur Post-Modern yang sedang melanda dunia
kearsitekturan juga merambah masuk ke Indonesia melalui kota-kota besar. Gaya
post-modern ini lebih menonjolkan simbolisme, klasik, ornamen, warna-warni dan
bentuk yang unik. Nampaknya gaya ini menoleh dan menggali dan memanfaatkan
keunikan arsitekturan tradisional dan seni masa lampau untuk berimajinasi ke
masa depan.
Gaya arsitektur tradisional yang beranekaragam di Indonesia
menjadi sumber inspirasi utama dalam pengayaan gaya post-modern ini
selanjutnya. Beberapa arsitektur modern masa kini, dirancang dan dibangun
dengan mengawinkannya dengan unsur-unsur arsitektur tradisional tetapi
terkadang bauran dengan unsur tradisional itu sendiri, menjadi rancu akibat
dari perbedaan prinsip dasar, filosofi dan konsepnya. Masalah lain akan timbul
bila dua macam atau lebih arsitektur tradisional yang berbeda disatukan di
dalam satu gubahan arsitektur, seperti Toraja dengan Bugis, Toraja dengan Bali,
Toraja dengan Jawa, atau kombinasi lainnya. Meskipun demikian arsitektur
tradisional masih memiliki dan menampilkan persamaan yaitu : unsur vertikal dan
horisontal. Bahkan kedua unsur ini dapat ditemukan pada seluruh gaya arsitektur
tradisional di Indonesia.
Pada arsitektur masa kini dimana modernitas dan tradisional muncul
bersamaan, nampaknya ada kecenderungan untuk menjawab keinginan masyarakat
tampil lebih eksis, beridentitas etnis dan menyatakan status sosial melalui
arsitektur tradisional sebagai simbol agar mempunyai“nilai Aktualisasi” . Cara pernyataan diri ini
menjadi lebih menarik karena tradisionalisme ditarik hadir dalam pola hidup
modern. Kemudian muncullah masalah-masalah akibat benturan antara tradisional
dengan modernitas. Unsur tradisional memang hadir tetapi lepas dari prinsip
dasar dan norma norma khasnya.
Konsepsi Arsitektur Tradisional
Sulawesi Selatan Sebagai Reinkarnasi “Karakter” Pengembangan Kawasan Budaya Dan
Pariwisata Lokal.
Sulawesi Selatan secara geografis terletak pada 0012’~80 Lintang Selatan dan 116048’~122036’ Bujur
Timur. Temperatur udara sekitar 26,90C, yaitu antara 22,30C
~ 34,50C. Daerah ini merupakan Jazirah Barat Daya Pulau Sulawesi,
dengan daerah dataran, pegunungan dan lautan. Letaknya berada di daerah
katulistiwa hingga masyarakatnya berpeluang hampir sepanjang tahun bisa
bercocok-tanam. Daerah Sulawesi selatan dihuni oleh tiga etnis utama yaitu
Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Masing-masing yang berbeda dalam bahasa dan
sebagian budayanya. Perbedaan itu terlihat juga pada jenis makanan, pakaian,
musik dan tari-tarian.
Dalam hal arsitektur rumah tradisional Bugis-Makassar secara
umum sejenis, yaitu rumah panggung dengan atap pelana yang sebagian besar bahan
bangunannya dari kayu. Arsitektur rumah tradisional Toraja juga berupa rumah
panggung, tetapi, pola ruang, struktur dan konstruksinya sangat berbeda
dibanding rumah arsitektur tradisional Bugis-Makassar.Bahan bangunan untuk
atapnya adalah bambu.
Kelompok etnis yang paling besar di Sulawesi Selalatan adalah
Bugis dan Makassar. Suku Makassar, Bugis dan Mandar terkenal sebagai pusat
kelahiran pelaut berjiwa patriotik, baik dimasa perang maupun dimasa damai.
Pada abad XVI Etnis Bugis- Makassar dan Mandar yang menghuni kawasan pantai
mempunyai pelaut-pelaut ulung. Dengan perahu layar tradisionalnya mereka
mengarungi lautan kepulauan Indonesia. Mereka berlayar untuk berniaga ke
berbagai bandar niaga di Pulau Jawa, Sumatera, Malaka kepulauan Maluku di
Kawasan Timur Indonesia, bahkan sampai ke Madagaskar (Mattulada 1998:3).
Bahkan sampai kebagian utara Australia, beberapa pulau di samudera Pasifik
sampai kepantai Afrika.
Dalam sistem sosial masyarakat Bugis dan Makassar ada strata
sosial masyarakat yang menentukan arsitektur rumah tinggal mereka. Pola ruang,
ornamen, dan besaran rumah tradisional Bugis-Makassar mempunyai korelasi
positif dengan tingkat strata sosial pemiliknya. Ukuran ruang, pintu dan
jendela rumah Bugis-Makassar relatif besar. Kemungkinan kondisi ini diwujudkan
untuk mengeliminir temperatur udara panas terutama yang lokasinya di daerah
hilir dan pantai. Rumah tradisional Toraja atapnya melengkung, ukiran yang
cantik dan warna yang alami.
Latar belakang geografis, prasejarah dan sejarah Sulawesi Selatan
telah melahirkan kekayaan budaya yang menarik. Seseorang dapat mengamati,
menikmati berbagai pengalaman pada keunikan budayanya, itu masih dapat
ditemukan di beberapa daerah misalnya pada upacara religius, upacara adat, seni
tradisional, seni ukir, tenun benang kapas dan sutra serta arsitektur
tradisionalnya.
Makassar merupakan salah satu kota bandar niaga terbesar di
Indonesia bagian timur. Makassar dan daerah sekitarnya juga terkenal memiliki
pelaut ulung yaitu orang orang yang ahli membuat kapal laut sekaligus mumpuni
berlayar. Pelabuhan Paotere yang berada di utara Ujung Pandang merupakan
kawasan pelabuhan kapal tradisional. Dipelabuhan ini terlihat kapal-kapal layar
Phinisi khas Bugis-Makassar yang terkenal itu berlabuh.
Benteng peninggalan kolonial Fort Rotterdam dan sejumlah bangunan
peninggalan kolonial lainnya seperti rumah kediaman Gubernur menjadi bukti
sejarah keberadaan Belanda di kota Makassar. Benteng Rotterdam atau Fort
Rotterdam merupakan salah satu bangunan peninggalan kolonial yang paling
terawat di Indonesia. Benteng ini menjadi salah satu contoh terbaik dari
arsitektur bangunan peninggalan Belanda yang ada di Indonesia.
Sebelum Fort Rotterdam dibangun, di tempat ini terdapat benteng
yang disebut Benteng Pannyua milik
kerajaan Gowa yang dibangun pada sekitar tahun 1545. Kemudian Benteng ini
dikuasai Belanda ketika sukses menyerang dan menduduki daerah ini. Setelah
Perjanjian Bungaya ditandatangani pada tahun 1667, Belanda kemudian
memodifikasi ulang benteng itu yang selanjutnya dikenal dengan nama Fort
Rotterdam. Dalam bangunan benteng ini terdapat Museum Negeri La Galigo yang
memiliki koleksi antara lain peralatan makanan dan memasak dari Tana Toraja,
instrument musik dan berbagai macam kostum pakaian adat.
Makassar juga merupakan kota tempat peristrahatan terakhir dua
pahlawan besar Indonesia; Sultan Hasanuddin dan Pangeran Diponegoro yang di
asingkan Belanda dari Jawa ke kota ini. Pahlawan nasional Pangeran Dipenogoro
menjalani penahanan masa pengasingan selama 26 tahun di Fort Rotterdam. Makam
Diponegoro dan sebuah monumen untuk mengenang jasa pahlawan yang gagah berani
ini terdapat di jalan Diponegoro, Makassar.
Monumen Mandala di jalan. Jendral Sudirman merupakan tugu
berbentuk menara yang menjadi salah satu ikon arsitektur- ciri kota Makassar.
Selain itu bangunan Vihara yang bergaya arsitektur Cina juga banyak terdapat di
kota ini, khususnya di jalan Sulawesi, karena masyarakat keturunan Cina banyak
bermukim di jalan itu dan sekitarnya.
Sisa-sisa arsitektur kerajaan Gowa masih dapat ditemui di kawasan
pinggiran, di tenggara kota Makassar. Di kawasan ini terdapat Makam Sultan
Hasanuddin, salah seorang raja Gowa yang sangat terkenal, hidup antara tahun
1629 – 1670. Di luar kompleks makam Pahlawan nasional ini terdapat Batu
Pelantikan yang disebut “palantikang”
merupakan tempat dimana dulu Raja-raja Gowa dilantik sebagai pemangku kerajaan
dan dianugerahi mahkota kerajaan. Tidak jauh dari kompleks pemakaman Sultan
Hasanuddin terdapat Mesjid Katangka yang juga memiliki kompleks makam di mana
di dalamnya terdapat beberapa kuburan dengan arsitektur khas.
Beberapa kilometer ke arah selatan kota Sungguminasa terdapat
Museum“Balla Lompoa”. Dimasa
lalu bagunan
ini adalah istana Sultan Gowa. Istana ini berupa bangunan rumah kayu dengan
gaya arsitektur Bugis-Makassar. Pada Museum tersimpan koleksi yang hampir sama
dengan museum yang terdapat di Benteng Fort Rotterdam.
Pulau Kayangan terletak sekitar empat mil laut atau sekitar 15
menit dengan menggunakan speed boat dari Pelabuhan Laut dekat pelabuhan
Soekarno-Hatta, Makassar. Pulau Kayangan adalah sebuah pulau kecil
berpasir putih seluas satu hektar. Lokasi wisata ini dilengkapi fasilitas
antara lain pondokan, panggung hiburan, restoran, gedung serba guna dan
anjungan untuk memancing beragam jenis ikan laut. Pulau kecil yang terletak di
lepas pantai kota Makassar ini ramai dikunjungi wisatawan pada hari libur.
Kegiatan yang banyak dilakukan wisatawan di pulau ini selain memancing adalah snorkling. Di pulau ini tersedia
beberapa penginapan kecil yang juga menyediakan fasilitas makan. Untuk menuju
ke pulau ini wisatawan dapat menumpangi perahu motor milik pengelola atau
menyewa speed boat. Dimasa lalu pulau ini menjadi tempat peristirahatan dan
wisata petinggi kolonial Belanda. Ada beberapa bangunan peritirahatan khas
Eropah yang sayangnya kini tidak ditemukan lagi
Maros merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Sulawesi
Selatan, termasuk tetangga yang berbatasan langsung dengan kota Makassar atau
dikenal Kabupaten penyangga kota Makassar. Obyek-obyek wisata di Kabupaten
Maros yang banyak dikunjungi wisatawan antara lain Bantimurung. Di lokasi ini
terdapat Air Terjung Bantimurung yang berada di lokasi perbukitan kapur
yang subur dengan aneka tumbuhan. Bantimurung terkenal karena menjadi habitat
aneka jenis kupu-kupu yang cantik, di lokasi wisata ini terdapat Museum
kupu-kupu. Obyek wisata andalan ini cocok untuk kegiatan wisata alam di lembah
bukit kapur/karts yang curam dengan vegetasi tropis yang subur sehingga selain
memiliki air terjun yang spektakuler juga menjadi habitat yang ideal berbagai
spesies kupu-kupu, burung dan serangga yang langka. Selain air terjun dan
kupu-kupunya, terdapat pula sebuah gua dengan stalagtit dan stalagmitnya yang
menakjubkan. Dekat dari Bantimurung terdapat gua Leang Leang. Gua ini
diperkirakan menjadi tempat kediaman manusia purba yang hidup di daerah ini
pada masa 8000 hingga 30.000 tahun yang lalu. Terdapat lukisan tua yang dilukis
pada dinding gua yang diperkirakan berusia 5000 tahun SM. Tempat yang disebut
juga Taman Prasejarah Leang-Leang ini terletak pada deretan bukit kapur yang
curam dan para arkeolog berpendapat bahwa beberapa gua yang terdapat disekitar
kawasan tersebut pernah dihuni manusia yang ditandai dengan lukisan. Prasejarah
berupa gambar babi rusa serta puluhan gambar telapak tangan yang ada pada
dinding – dinding gua. Selain lukisan prasejarah, juga terdapat benda laut
berupa kerang yang menandai bahwa gua tersebut juga pernah terendam dan
dikelilingi oleh laut. Di kawasan Bantimurung ini pernah dibangun rumah-rumah
peristirahatan dengan arsitektur khas Bugis-Makassar, namun sayangnya tempat
itu musnah terbakar.
Obyek wisata Alam Gua Pattunuang di Kabupaten Maros selain kaya
akan akan stalagtit dan stalagmit yang menakjubkan, juga memiliki panorama alam
sekitarnya sangat menawan dan indah. Berbagai spesies flora dan fauna yang
tergolong langka dapat dijumpai di tempat ini. Diperkaya lagi dengan bentangan
pegunungan yang curam dan bertebing. Pada kawasan ini terdapat batu besar yang
berbentuk perahu yang menyimpan legenda menarik. Menurut cerita rakyat bahwa
pada zaman dahulu, pernah ada saudagar dari Cina yang datang untuk melamar guna
mempersunting gadis Samangki, namun karena lamarannya ditolak akhirnya saudagar
tersebut malu dan mengkaramkan perahunya yang kemudian menjelma menjadi batu.
Batu tersebut kemudian dikenal masyarakat sekitar dengan julukan “Biseang Labboro” yaitu perahu terdampar. Di
kawasan ini terlihat aneka ornamen yang indah.
Sejumlah obyek wisata pantai juga dapat dijumpai di Maros seperti
Pantai Kuri dengan pasir putihnya. Kawasan ini merupakan salah satu pantai yang
sangat ideal untuk dinikmati, terlebih dengan suasana matahari terbenamnya yang
indah. Letaknya sangat strategis yaitu antara kota Maros dan Kota Makassar.
Keberadaannya menjadikan kawasan yang pertama dapat dikunjungi setelah mendarat
di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Untuk menuju Kota Makassar melalui
pantai Kuri dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan menelusuri pesisir
pantai, sehingga selain akan memberi kenyamanan tersendiri juga terhindar dari
kemacetan arus lalu lintas jalan raya. Sayangnya Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin yang megah itu kurang menyerap ornamen arsitektur tradisional
Sulawesi Selatan.
Malino di Kabupaten Gowa adalah kawasan resort pegunungan yang
terkenal sejak awal kemerdekaan Indonesia. Kawasan ini pernah menjadi tempat
pertemuan antara para pemimpin Kalimantan dan pemimpin daerah Indonesia timur
lainnya ketika mereka membentuk negara federasi Indonesia sebagai hasil
perundingan dengan pemerintah belanda. Di kawasan Malino terdapat tempat-tempat
peristirahatan bergaya arsitektur kolonial yang masih terjaga keberadaannya.
Kabupaten Jeneponto meski dikenal sebagai wilayah yang kering,
ternayata memiliki juga panorama alam yang indah dan asri dengan pepohonan yang
rindang. Tidak terlalu sulit menemukan pantainya yang landai dengan udara yang
nyaman untuk melakukan berbagai aktivitas olahraga pantai.
Salah satu obyek pantainya yang terkenal adalah Birtaria Kassi di
Kecamatan Tamalatea dengan pantai yang landai dan sudah tertata baik, ditunjang
berbagai fasilitas kolam renang, penginapan dengan bagunan berarsitektur Bugis-Makassar.
Di kawasan ini juga terdapat kolam pancing dan berbagai restoran, toko souvenir
dan arena hiburan anak – anak. Air Terjun Boro, berlokasi di Desa Tompobulu,
Kecamatan Kelara. Pemandangannya indah dengan pegunungan yang berada di kanan –
kiri air terjun yang tingginya mencapai 20 meter. Di kawasan ini rumah-rumah
dibangun berarsitektur khas Bugis –Makassar.
Kuburan Raja – Raja Binamu merupakan kuburan para Raja – Raja
Binamu yang pernah memerintah di Butta Turatea Jeneponto. Kuburan ini memiliki
ciri khas ornamen yang indah. Derajat yang di makamkan disana dapat dilihat
dari patung yang berada di atas kuburan.
Bantaeng adalah pusat pembuatan kapal orang Bugis dengan reputasi
yang terkenal selama ratusan tahun. Daerah ini kaya akan sejarah maritimnya.
Pada masa lalu, Bantaeng merupakan daerah taklukan Kerajaan Majapahit. Puisi –
puisi lama pada abad ke–14 pernah memuji kualitas kapal buatan daerah ini. Di
utara Bantaeng terdapat sebuah air terjun yang cukup mengesankan. Di sini,
wisatawan dapat melakukan kegiatan olahraga pantai, mandi atau berendam di laut
atau berlayar dengan perahu. Di kota Bantaeng terdapat juga bangunan-bangunan
khas gaya arsitektur kolonial. Karena daerah ini pernah menjadi salah satu
pusat pemerintahan kolonial Belanda.
Di desa Kampala, Kecamatan Eremerasa, terdapat Permandian Alam
Emmerasa. Di sepanjang jalan, wisatawan dapat menyaksikan rumah panggung
berjejer di antara areal persawahan. Di sekitar permandian ini udaranya sejuk
dengan pemandangan alam berupa perbukitan yang ditumbuhi pohon dan tanaman
berwarna hijau.
Di Kelurahan Bontojaya, Kecamatan Bissappu terdapat Gua Batu
Ejaya. Letaknya di atas bukit yang datar, sekitar 300 meter dari jalan raya. Di
sekitar gua itu terdapat banyak pohon kapuk. Masyarakat setempat menggunakan
buah pohon kapuk itu sebagai bahan baku untuk membuat kasur. Gua Batu Ejaya
pernah diteliti tahun 1937 oleh Van Stein Callonfols, ilmuwan dari Belanda. Ia
melakukan penggalian arkeologi dan menemukan alat – alat batu jenis calsedon
berupa serpihan yang digunakan sebagai pencerut, ujung – ujung panah.
Masjid Tua Tompong juga menjadi salah satu obyek yang dikunjungi
wisatawan. Masjid kuno ini memiliki atap bentuk tumpang tiga. Bangunan induknya
terdiri dari penampil dan tubuh masjid. Dinding masjid di bagian Utara, Selatan
dan Barat terbuat dari tembok yang mempunyai ventilasi udara dari roster
porselin berwarna hijau. Dinding masjid bagian timur terdiri dari empat pilar
bergaya arsitektur Eropa. Konon, masjid ini dibangun pada tahun 1887 atas
prakarsa Raja Bantaeng Karaeng Panawang pada abad 12.
Makam Raja – Raja La Tenri Ruwa merupakan kompleks makam yang
terletak di tengah kota Bantaeng, tepatnya di Lingkungan Lembang Cina,
Kelurahan Pallantikang, Kecamatan Bantaeng. Di kompleks ini terlihat kuburan dan
nisan dengan ornamen yang khas. Di sekitarnya terdapat rumah – rumah penduduk
berarsitektur tradisional. La Tenri Ruwa adalah Raja Bone ke 11 yang pertama
menerima ajakan dari Raja Gowa XIV Mangerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin
untuk memeluk agama Islam. Oleh sebab itu dalam kompleks bangunan ini terdapat
sekitar 159 buah bangunan makam yang menyerap gaya arsitektur Islam. Bahan baku
bangunan makam itu terbuat dari batu karang, selebihnya batu cadas, batu bata
dan batu kapur yang memakai bahan perekat.
Di kota Bantaeng terdapat Balla Lompoa-rumah adat khas Bugis
Makassar yang dulu menjadi tempat bermukimnya raja – raja Bantaeng. Luas
tanahnya sekitar 1.617 meter persegi. Bangunannya terdiri dari rumah induk dan
pendopo.
Bulukumba merupakan salah satu tempat keberangkatan kapal yang
menuju ke Pulau Selayar. Di kabupaten ini terdapat desa-desa orang Bugis
-Makassar yang bermukim di sekitar pantai Bulukumba. Rumah-rumah mereka
berarsitektur Bugis Makassar. Di arah selatan ibukota kabupaten Bulukumba terdapat
desa tempat pembuatan kapal juga sejumlah obyek wisata yang dikenal dengan nama
Pantai Bira, terletak di Kecamatan Bonto Bahari. Panorama alam yang indah.
Pantai dengan hamparan pasir putih ini menjadi tempat yang asyik untuk
menikmati sunrise dan sunset yang amat mempesona.
Pantai di tempat ini memiliki pasir yang putih. Di kawasan pantai
ini, wisatan dapat berenang, snorkeling dan menyelam. Pada hari biasa, tempat
ini bagus untuk bersantai namun pada hari libur selalu ramai dengan pengunjung.
Pantai bira memiliki keragaman biota laut yang sangat indah. Berbagai jenis
ikan hias dan terumbu karang beraneka warna. Untuk bermalam telah dibangun
beberapa cottage ala arsitektur Bugis-Makassar yang dipadukan dengan pendekatan
konsep arsitektur modern.
Pantai lemo-lemo, tempat pembuatan perahu tradisional dan di
sekitar pesisir dijadikan kawasan cagar alam dengan aneka satwa liar yang
dilindungi. Pantai Mandala Ria di Desa Ara Kecamatan Bontobahari terdapat
rumah-rumah khas Bugis Makassar. Selain pesona pantai berpasir putih yang
indah, juga tersedia sumber air tawar di laut disaat surut. Kerajinan
masyarakat berupa sulaman dan miniatur perahu phinisi dapat dijadikan souvenir
menarik dari lokasi ini.
Kajang adalah kampung adat yang menjadi pemukiman dengan rumah-rumah
adat khas Kajang. Masyarakatnya masih sangat terikat dengan adat istiadat yang
bersumber dari ajaran pasang/wasiat yang disebut”Pasangnga Ri Kajang” yang
dikomunikasikan lewat ”Ammatoa”sebagai
pemangku adat. Mereka hidup dalam kesederhanaan dengan pakaian serba hitam dan
bangunan rumah mereka dominan berwarna hitam dan mereka hidup dengan
melestarikan hutan sebagai warisan leluhur.
Pulau Selayar terletak
di arah tenggara dari daratan semenanjung Sulawesi Selatan ini memiliki pantai
berpasir dengan panorama yang indah. Pulau yang berbentuk memanjang tapi sempit
ini dihuni oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Mereka kebanyakan tinggal di
kawasan pantai barat Pulau Selayar atau di Benteng yang merupakan kota utama di
pulau ini. Beberapa kilometer di selatan Benteng terdapat Benteng Bontobangun.
Di dekat Pulau Selayar terdapat Pulau Pasi di mana wisatawan dapat melakukan
kegiatan air snorkeling. Di Selayar terdapat juga rumah adat yang berarsitektur
khas. Taka Bone Rate merupakan pulau karang atol yang terletak di tenggara
Pulau Selayar atau di utara Pulau Bone Rate. Pulau atol Taka Bone Rate adalah
yang terbesar ketiga di dunia dengan luas sekitar 2220 km2.
Kabupaten Sinjai merupakan daerah yang terletak di pantai timur
bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan dan berada di kaki Gunung Bawakaraeng,
menyimpan potensi wisata bahari maupun wisata alam berpemandangan yang tidak
kalah menariknya dengan daerah lainnya. Selain itu, sebagai daerah bekas
wilayah gabungan antara Kerajaan Tellulimpoe (Tondong, Bulo Bulo dan Lamatti)
dengan Kerajaan Pitulimpoe (Turungeng, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka
dan Bala Suka), tentunya menyimpan benda – benda peninggalan sebagai tanda
kejayaan kedua kerajaan tersebut di masa lalu. Hal ini merupakan potensi wisata
budaya yang tiada nilainya.
Untuk wisata bahari daerah potensi pengembangan untuk wisata
bahari adalah Pulau – pulau Sembilan di Kecamatan Sinjai Utara, Pantai Lasia di
Kecamatan Sinjai Timur dan Desa Pattongko Kecamatan Tellulimpoe. Pulau – pulau
Sembilan terdiri dari 9 buah pulau yakni Pulau Burungloe, Pulau Liang Liang,
Pulau Kambuno, Pulau Kodingare, Pulau Batanglampe, Pulau Katingdoang, Pulau
Kanalo 1, Pulau Kanalo 2 dan Pulau Larearea yang merupakan daerah potensial
untuk dijadikan obyek wisata bahari.
Benteng Balangnipa berjarak 2 km dari pusat kota Sinjai, terletak
di Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara. Pada awal dibangunnya tahun
1560, benteng ini merupakan dasar yang bahannya berupa batu gunung yang diikat
oleh lumpur Sungai Tangka, tebal dinding siwali reppa -setengah depa, berbentuk
segi empat dan memiliki empat buah pertahanan yang disebut bastion. Selanjutnya
pada zaman penjajahan Belanda tahun 1864, direnovasi dengan model arsitektur
Eropa dan selesai tahun 1868.
Bone adalah ibukota kabupaten Bone. Adalah salah satu daerah yang
berada dipesisir Timur Sulawesi Selatan. Wisata budaya dan sejarahnya sangat
kaya. Antara lain rumah adat Bola Soba di Kelurahan Manurungnge, Kecamatan
Tanete Raittang. Rumah adat bugis yang terletak di pusat Kota Watampone ini
adalah bekas istana Panglima Perang Kerajaan Bone Andi Baso Pagiling Putra
Mahkota Raja Bone XXXX Lapawawoi Karaeng Sigeri. Rumah tersebut dibangun akhir
abad ke 19 atau tahun 1890. keberadaan rumah panggung ini menunjukkan bahwa
sejak masa lalu masyarakat Bone telah menguasai pengetahuan teknik arsitektur
dan sipil yang cukup tinggi.
Museum Lapawawoi di pusat kota Watampone. Di museum ini tersimpan
peninggalan Kerajaan Bone dan benda-benda peninggalan Arung Palakka seperti
keris, patung, pakaian kerajaan, baju-baju adat dan foto-foto keturunan
Raja-raja Bone juga sarat dengan sejarah. Pernak-pernik itu sangat indah dalam
bentuk dan warnanya.
Untuk kegiatan wisata alam, Bone banyak memiliki gua-gua alam
seperti Gua Mampu di Desa Labbeng, yang memiliki stalagtit dan stalagmit
menyerupai bentuk makhluk sehingga muncul legenda Alleborenge Ri Mampu atau
kutukan Kerajaan Mampu. Legenda tentang kerajaan yang dikutuk menjadi batu ini
disampaikan secara turun temurun di tengah masyarakat setempat dan menjadi daya
tarik tersendiri bagi para pecinta alam.
Sejumlah makam menjadi obbyek wisata ziarah seperti komplek
pemakaman Raja Kalokkoe (Laleng Bata) sekitar 3 km dari kota Watampone dan
makam Raja-raja Watang Lamuru di Desa Labalata, kompleks makam Labalata dan
Kalokkoe serta makam Lapatau Matanna Tikka di Desa Nagauleng, Kecamatan
Cenrana. Makam-makam ditempat ini dibuat dengan bentuk yang khas.
Bajoe yang terletak 7 km di sebelah timur Bone merupakan kota
pelabuhan dan penyeberangan menuju ke Kolaka di Sulawesi Tenggara. Wisatawan
dapat menyewa perahu jika berminat melihat ”desa terapung” di dekat Bajoe.
Rumah-rumah masyarakat di kawasan itu dibangun dengan khas arsitektur
Bugis-Makassar.
Pemandian alam Mattampa merupakan salah satu obyek wisata di
Kabupaten Pangkep yang terletak di Kelurahan Samalewa, Kecamatan Bungoro
sekitar 3 km dari kota Pangkajene yang berada pada poros Makassar – Pangkep. Di
pemandian ini juga terdapat Gua Mattampa dan taman rekreasinya yang dilengkapi
fasilitas olahraga dan pertanian terpadu dan pusat percontohan pengembangan
kolam air tawar dan tempat memancing. Di beberapa gua, terdapat peninggalan
purbakala berupa gambar telapak tangan, babi, rusa, perahu yang diperkirakan
berusia 5000 tahun.
Di kelurahan Balloci Baru terdapat Taman Laut Pulau Kapoposan di
Desa Mattiro Ujung Kecamatan Liukang Tupabiring. Kepulauan ini memiliki gugusan
terumbu karang yang padat dan indah yang di sela – selanya berenang ikan – ikan
hias aneka warna dari berbagai spesies. Di bagian timur pantai yang landai dan
berpasir putih sudah dilengkapi dengan fasilitas akomodasi dengan bangunan
rumah khas berarsitektur Bugis Makassar.
Obyek pantai lainnya adalah Pulau Langkadea, sekitar 25 menit
dengan speed boat dari Pelabuhan Bining Kassi, Pangkajene. Pulau ini disebut
juga Citra Mustika Langka atau Pulau Wisata Bahari Muslim karena pengunjung
menghadapi sejumlah ketentuan misalnya harus berbusana muslim, laki – laki dan
perempuan yang bukan muhrimnya tidak diperkenankan serumah dan tidak
diperbolehkan ada judi. Sejumlah fasilitas tersedia mulai dari akomodasi, jet
sky dan fasilitas olahraga lainnya.
Soppeng merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi
Selatan. Ibukotanya Watansoppeng atau disebut juga kota kalong atau kelelawar,
ada sekian mitos yang berkembang bahwa keberadaan kalong ini yang jumlahnya
ratusan hingga ribuan ini, bertengger di pohon – pohon taman kota dengan suara
berisik yang khas. Keberadaan kalong di jantung kota Watansoppeng semakin
menambah pesona kota ini karena ibukota Watansoppeng dijuluki sebagai kota
kalong. Uniknya kalong ini hanya mau berdiam dan bergelantungan di pepohonan
sepanjang kota Watansoppeng. Di Soppeng masih banyak ditemukan bagunan bergaya
arsitektur kolonial. Salah satu diantaranya yang cukup terkenal diberi julukan
”Rumah Tinggi”
Villa Yuliana merupakan salah satu bangunan arsitektur peninggalan
Belanda di Kabupaten Soppeng, bangunan ini terletak di jantung kota
Watansoppeng, dibangun oleh C. A. Krosen tahun 1905 selaku Gubernur
Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi. Konstruksi dan arsitektur bangunan ini
merupakan perpaduan gaya Eropa dan gaya Bugis. Villa ini merupakan bangunan
kembar, satu di antaranya ada di Nederland, pembangunan villa ini merupakan
wujud kecintaan terhadap Ratu Yuliana.
Rumah Adat Sao Mario terletak di Kelurahan Manorang Salo,
Kecamatan Marioriawa. Di dalam kompleks Rumah Adat Sao Mario ini, terdapat
berbagai jenis rumah adat yang bergaya Arsitektur Bugis, Makassar, Mandar,
Toraja, Minangkabau dan Batak. Rumah adat ini juga berfungsi sebagai museum
dengan koleksi berbagai jenis barang antik yang bernilai tinggi dari berbagai
daerah di Indonesia dan luar negeri seperti : kursi, meja, tempat tidur,
senjata tajam dan berbagai macam batu permata.
Kompleks Istana Datu Soppeng terletak di jantung kota
Watansoppeng, berhadapan dengan Villa Yuliana yang dibangun sekitar tahun 1261
pada masa Pemerintahan Raja Soppeng I Latemmalala yang bergelar Petta Bekkae.
Dalam kompleks tersebut terdapat bangunan, antara lain : Bola Ridie -Rumah
Kuning yang berfungsi untuk menyimpan berbagai jenis atribut kerajaan, SalassaE
berfungsi sebagai Istana Datu Soppeng. Menhir Latammapole sebagai tempat
menjalani hukuman bgi orang yang melanggar adat dengan cara mengelilingin 7ya
kali.
Makam Jera Lompoe adalah makam Datu/Raja-Raja Soppeng, Luwu dan
Sidenreng dari abad XVII. Makam ini terletak di Kelurahan Bila Kecamatan
Lalabata sekitar 1 km sebelah utara kota Watansoppeng. Melihat bentuk, type
orintasi dan data historis makam ini dapat dikatakan bahwa Islam masuk sekitar
abad XVII. Namun, dilihat dari bentuk nisannya terdapat pengaruh kebudayaan
Hindu. Itu terlihat pada ornamen-ornamennya.
Pemandian Air Panas Lejja merupakan salah satu objek wisata
andalan yang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara.
Pemandian ini berada dalam kawasan hutan lindung yang berbukit dengan panorama
alam yang indah, sejuk, nyaman di Desa Bulue, Kecamatan Marioriawa. Di tempat
ini terdapat fasilitas peristirahatan yang dibangun dengan gaya campuran
tradisional dan modern.
Pemandian Alam Ompo merupakan salah satu tujuan wisata andalan
pula. Pemandian yang terletak di Kelurahan Ompo, Kecamatan Lalabata ini dikenal
dengan airnya yang jernih. Pada obyek wisata Ompo ini terdapat areal yang luas
untuk perkemahan dan Motor Cross dan juga terdapat sebuah danau buatan yang
cukup luas sebagai areal bermain perahu dan memancing ikan air tawar.
Pemandian Alam Citta terletak di Jantung Desa Citta, Kecamatan
Liliriaja. Di obyek ini pengunjung dapat berenang dan menikmati keindahan
panorama alam, perkampungannya masih banyak yang khas berarsitektur
Bugis-Makassar dan berbagai aktivitas masyarakat sekitarnya seperti pengolahan
tembakau secara tradisionil.
Kota Sengkang terletak di pinggir Danau Tempe yang memiliki
panorama indah. Sengkang merupakan kota yang cukup menyenangkan untuk
dikunjungi. Salah satu daya tarik kota Sengkang adalah produk kain sutera.
Hasil industri tenun milik rakyat. Sengkang memang dikenal sebagai pusat
industri sutera. Kain sutera banyak dijual di pasar Sengkang seperti selendang
sutera. Namun, sayangnya pusat penenunan sutera milik rakyat umumnya terletak
di desa-desa di sekitar Sengkang yang tidak memiliki akses angkutan umum. Untuk
dapat menuju ke desa-desa ini, Anda harus menyewa angkutan umum.
Danau Tempe merupakan danau yang cukup luas namun dangkal yang
menjadi habitat satwa burung. Pinggiran danau merupakan kawasan tanah lumpur
yang juga menjadi tempat bermukim masyarakat setempat. Pengunjung dapat
berjalan-jalan menyusuri danau dengan menggunakan perahu motor hingga ke Sungai
Walanae, mengunjungi Desa Salotangah dan Desa Batu Batu yang berada di tengah
danau.
Pinrang dikenal sebagai salah satu ”Lumbung Pangan” di Sulawesi
Selatan sekaligus penghasil udang, ikan bandeng, kakao, kopi, kemiri dan
kelapa. Sebagai daerah pertanian yang memiliki sumber daya alam yang cukup,
Pinrang juga memiliki kekayaan laut yang membentang sekitar 93 km dari kota
Parepare sampai ke Polewali Mamasa.
Pulau Kamarrang di Kelurahan Ujung Labuang dapat ditempuh dari
Ujung Lero sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor. Gugusan pulau yang
menyembul dari laut ini mempunyai luas 7 hektar didominasi oleh vegetasi hutan
pantai termasuk hutan bakau yang mengitari pulau – pulau bagian Barat dan
Utara. Sementara pada bagian Timur terdapat pantai berbatu keras yang tahan
hantaman ombak. Pada bagian tengah pulau terdapat pohon – pohon tua yang
digelantungi oleh ratusan kelelawar.
Terdapat sebuah makam tua di pulau ini dan dikeramatkan oleh para
peziarah untuk menyatakan dan melepas nazar bila keinginannya dikabulkan.
Terdapat sebuah villa berarsitektur modern di pulau ini yang digunakan
wisatawan untuk beristirahat.
Dua buah air terjun terdapat pula di Kabupaten Pinrang yaitu Air
Terjun Karawa di Kelurahan Betteng. Kawasan air terjun dengan ketinggian 60
meter ini di bawahnya terdapat kolam – kolam alami dan bebatuan untuk
beristirahat. Dari kolam alami ini, air mengalir melalui batu – batu gunung dan
menciptakan air terjun kecil sehingga seolah bersusun – susun.
Air terjun lainnya masih di kelurahan yang sama sekitar 20 km dari
kota Pinrang disebut Air Terjun Kalijodoh. Berada di kawasan seluas 2 hektar
dan mempunyai empat sumber air. Panorama alam pegunungannya membuat tempat ini
terasa sejuk dan nyaman sehingga menjadi tempat memadu kasih dan diyakini
mereka yang datang berpasangan bisa berjodoh. Tak heran bila hari libur banyak
dikunjungi wisatawan lokal setempat.
Pemandian air panas terdapat di Kelurahan Maminasse pada jalan
poros Pinrang-Sidrap. Ada dua sumber air yang mendukung tempat ini yaitu sumber
air panas dan sumber air dingin. Di lokasi ini telah dibangun kolam renang yang
sumber airnya dari kedua mata air tersebut. Pemandian Air Panas Sulili ini
sudah dilengkapi berbagai fasilitas lainnya termasuk pondok wisata sehingga
banyak dikunjungi wisatawan domestik.
Pemandian air panas lainnya terdapat di Kelurahan yang sama menuju
arah PLTU Bakaru, sekitar 12 km dari Pinrang. Pemandian Air Panas Lemosusu ini
memiliki panorama alam yang meski failitasnya masih sederhana untuk mandi
maupun berendam.
Kota Palopo adalah ibukota kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi
Selatan. Kota ini terletak di daerah pegungungan yang memiliki banyak danau.
Danau-danau di wilayah ini saling berhubungan melalui banyak sekali
sungai-sungai kecil. Dari kota ini bisa dilakukan perjalanan kekota
pertambangan Soroako. Kota terletak di dekat Danau Matano seluas 16.400 hektar
dan merupakan danau terdalam di Sulawesi. Di sebelah selatan Danau Matano
terdapat Danau Towuti seluas 56.100 hektar yang merupakan danau terbesar kedua
di Indonesia setelah Danau Toba. Danau ini menjadi habitat aneka flora dan
satwa burung. Di Kota Palopo telah dibangun rumah adat yang cukup besar berarsitektur
Bugis. Rumah adat ini sering dimanfaatkan untuk berbagai upacara baik upacara
adat ataupun upacara Pemerintah Daerah.
Di Kabupaten Luwu terdapat Istana Kerajaan Luwu atau disebut juga
Museum Batara Guru, misalnya, terletak di pusat kota Palopo. Istana ini
didirikan pada tahun 1922 – 1924 oleh seorang arsitek Belanda bernama Obsenter
Noble pada masa penjajahan Belanda di Luwu dengan bangunan bergaya Eropa.
Istana yang berfungsi sebagai museum Batara Guru ini menyimpan
benda – benda pribadi dan peralatan yang pernah digunakan Rja – Raja Luwu. Di
sini juga terdapat benda – benda antik seperti keramik, peralatan dan
perlengkapan upacara adat dan benda pusaka.
Makam Raja – Raja Luwu ”Lokkoe” yang artinya gua tempat
peristirahatan. Terletak di pusat kota Palopo dan bentuknya unik seperti bentuk
piramida. Di tempat ini dimakamkan para Raja Luwu yang pernah berkuasa. Gua
Liang Andulan di Desa Siteba, Kecamatan Lamasi memiliki ragam stalaktit dan
stalagmit dengan warna – warna yang indah. Untuk mencapai gua, pengunjung harus
melalui sekitar 480 anak tangga dan di dalam gua terdapat makam leluhur To Tana
Lalong terdiri dari Liang Kabongian dan Liang Sugi Sakalikuku.
Tana Toraja merupakan daerah tujuan wisata internasional yang
paling menarik dan paling terkenal di Sulawesi. Secara geografis Tana Toraja
berada di pegunungan pada pangkal semenanjung Sulawesi Selatan. Di kawasan yang
indah permai ini masih bisa ditemui desa-desa tradisional dengan sawah yang
membentang luas, bangunan rumah tradisional Tongkonan dengan arsitektur yang
unik khas kebudayaan Toraja yang sangat menarik.
Masyarakat Toraja secara etnografis dapat dibagi dalam tiga
kelompok yaitu Toraja Barat, Timur dan Selatan, namun yang banyak dikenal orang
luar khususnya wisatawan asing adalah Toraja Selatan yang dikenal juga dengan
nama Toraja Sa’adan atau Saqdan. Pada umumnya mereka bermukim di sekitar
Rantepao dan Makale, ibukota administrasi Tana Toraja. Kota kecil yang cantik
ini dikelilingi perbukitan yang puncaknya sering ditutupi kabut dan di dekat kota
terdapat sebuah danau buatan.
Rantepao merupakan kota terbesar di Tana Toraja dan juga pusat
perdagangan di wilayah ini. Wisatawan yang mengunjungi Toraja umumnya berkumpul
di Rantepao. Kota ini menjadi titik awal bagi wisatawan yang ingin megeksplorasi
segala keunikan dan keindahan Toraja. Rantepao adalah kota hujan karena hujan
hampir selalu turun sepanjang tahun dengan udara yang dingin pada malam hari.
Di kota ini masih banyak terdapat rumah-rumah yang dibangun dengan arsitektur
khas Toraja.
Salah satu upacara adat yang paling mengesankan di Toraja adalah
upacara penguburan mayat yang sudah terkenal ke seluruh dunia. Orang Toraja
percaya tanpa upacara penguburan ini, arwah orang yang mati akan memberikan
kemalangan bagi keluarga yang ditinggalkan. Upacara penguburan ini, menjadi
ajang ditampilkannya ornamen-ornamen khas Toraja yang sangat indah.
Arsitektur Tradisional
Sulawesi Selatan Dalam Konteks Ketahanan Budaya Lokal.
Pemanfaatan model arsitektur tradisional pada bangunan masa kini,
ternyata sering dianggap tidak lagi mampu sepenuhnya mengikuti dinamika
kebutuhan masyarakat. Seringkali dianggap terjadi ketidakserasian antara
keberadaan model arsitektur tradisional yang boleh dikatakan cenderung stagnan,
dengan dinamika tuntutan kehidupan moderen yang selalu cepat berubah dengan
variasi-variasinya. Pada banyak kasus, karena penerapan model arsitektur
tradisional yang salah, tidak mengabaikan kaidah-kaidah sebagaimana mestinya
mengakibatkan bangunan atau rumah itu bermasalah. Pemahaman seperti itulah yang
mendasari pertimbangan hingga penerapan model baru pada arsitektur rumah atau
bangunan masa kini dengan corak kekinian pula, tidak mau mengadopsi
potensi arsitektur rumah tradisional. Kalau pun ada upaya-upaya menyerap
model arsitektur rumah tradisional, maka proses adopsi itu secara umum masih
belum cukup memuaskan karena hadir hanya sebagai tempelan artistik pemanis,
sebatas ornamen ringan semata, bukan karena pertimbangan aktualisasi kekayaan
arsitektur tradisional.
Ada pula paradigma yang menilai bahwa dalam konteks waktu,
tradisional diidentikkan dengan masa lalu yang kuno dibanding dengan modern,
ultra modern atau pasca modern yang sepenuhnya mencerminkan kekinian terbaru.
Itu salah satunya yang menyebabkan rumah berarsitektur tradisional yang
mengandung berbagai kearifan itu dinilai kuno, ketinggalan zaman hingga
pelan-pelan mulai ditinggalkan pemangku kepentingan.
Padahal, sangat penting disadari bahwa transformasi model
arsitektur tradisional ke arsitektur moderen sebenarnya dapat terproses secara
baik dalam penataan ruang dan lingkungan dari waktu ke waktu, jika saja hal
tersebut terus dilakukan dalam kesadaran tinggi. Mencari wujud arsitektur
tradisional untuk rumah yang baru dengan penerapan secara bijak dan mematuhi
kaidah-kaidah dengan tepat. Semakin cepat dilakukan transformasi akan semakin
besar dan efektif manfaatnya bagi masyarakat. Alasan inilah yang mendasari
pemikiran; pentingnya berbagi kesadaran untuk sama-sama berusaha menggali dan
memahami kembali kearifan dan keunggulan yang terkandung dalam ranah arsitektur
rumah tradisional. Kearifan dan keunggulan yang mulai tak diabaikan,
ditinggalkan atau bahkan cenderung dilupakan itu. Ini perlu segera direvitalisasi.
Hasil penelusuran, pengkajian dan pelestarian kearifan lokal dalam
yang masih dimiliki, perlu ditransformasikan untuk menjadi bekal pengetahuan
dan keterampilan yang sangat diperlukan bagi pengembangan ilmu arsitektur,
untuk generasi sekarang dan generasi penerus, serta bagi kelestarian alam dan
lingkungan.
Penerapan wujud identitas dan karakter budaya lokal pada
arsitektur rumah tradisional diberbagai kawasan wisata, seharusnya terus
menerus dilakukan secara konsepsional. Agar dapat terlihat secara jelas
bagaimana esensi kearifan budaya lokal yang diterapkan itu ternyata masih bisa
sangat fungsional. Konsep arsitektur tradisional yang diterapkan pada kawasan
wisata budaya lokal, bisa berperan menjadi transformator atas nilai yang
ingin diwariskan untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal sekaligus nasional.
Perlu pula selalu diperhitungkan, bagaimana penataan suatu kawasan
wisata budaya dan sekitarnya yang menyatu dalam konsep arsitektur rumah
tradisional setempat. Misalnya dengan penataan secara menyeluruh atas bangunan
dan lingkungan diseputar Bola Soba dan jugaBalla Lompoa – rumah khas Bugis Makassar. Di
kawasan itu, perlu dengan sengaja ditata suatu lanskap yang berorientasi pada
arsitektur etnis Bugis-Makassar nan harmonis, misalnya; dengan menanam pohon
lontara atau pohon pandan di tamannya sebagai salah satu cara mempertahankan
aura masa lalu.
Suatu obyek arsitektur memang dapat menyandang lebih dari satu
atribut kategorisasi, bergantung dari sudut pandang yang menilainya: Jika Rumah Tradisional Bugis Makassar seperti : Balla
Lompoa, Bola Soba, dalam kenyataannya bahwa dibangun oleh masyarakat
tradisional Bugis-Makassar berdasarkan kaidah budaya Bugis-Makassar, maka itu
merupakan “Arsitektur etnis Bugis Makassar”; demikian pula bila
mengingat “Balla Lompoa” tercipta
berdasarkan kaidah dari bakuan teknik arsitektur yang telah diwariskan secara
turun-temurun, maka itu merupakan ‘arsitektur tradisional’; Jika ditilik dari
strata masyarakat bangsawan yang membangun dan menggunakannya maka Balla Lompoamasuk dalam kategori “arsitektur klasik”.
Begitu pula dengan Tongkonan
ma’dandan atau batu a’riri yang
merupakan “arsitektur etnis” Toraja, sekaligus merupakan “arsitektur
tradisional”. Keberadaan model Tongkonan bisa dan perlu dikembangkan
secara berkelanjutan sekaligus dipadukan dengan konsep arsitektur modern,
apalagi mengingat Tana Toraja sebagai dareah tujuan wisata Sulawesi Selatan
yang wisatawannya datang dari manca negara, tentunya mereka datang karena ingin
menikmati keunikan budaya Toraja, salah satunya adalah melihat bentuk serta
mengapresiasi arsitektur Tongkonan yang unik itu.
Untuk mewujudkan ketahanan budaya dan konteks pelestarian “Esensi”dan pengembangan “Substansi” arsitektur tradisional Sulawesi Selatan maka;
·
Perlu upaya memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal
untuk dilestarikan sebagai warisan budaya.
·
Perlu upaya memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal
untuk dikembangkan ke dimensi kekinian, seiring dengan perubahan waktu dan
kemajuan teknologi yang bergerak ke masa depan.
·
Bahwa mempertahankan jatidiri dan karakter etnis lokal amatlah
penting di tengah deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi. Hal
tersebut dapat ikut ditransformasikan melalui kesadaran akan keunggulan budaya
yang dimiliki.
·
Hidup dan kehidupan memang berhak terus berkembang seiring
zamannya, namun perubahan lingkungan strategis etnis yang mengadopsi
kearifan-kearifan lokal perlu pula terus ikut diperhitungkan dan dipertahankan
guna menjadi roh bagi pengembangan sekaligus dan meningkatkan ketahanan
arsitektur berciri tradisional.
Semakin cepat dilakukan kajian untuk menggali nilai dari kearifan
arsitektur tradisional lokal dampaknya akan semakin baik, termasuk upaya-upaya
transformasi, pewarisan nilai dan teknologi arsitektur tradisional dari para
sesepuh, cerdik cendekia bidang budaya, sosiologi dan arsitek rumah tradisional
akan sangat baik sebelum mereka terlanjur berpulang. Diharapkan dengan
terwujudnya kelestarian arsitektur tradisional lokal Sulawesi Selatan dapat
merajut kembali kejayaan masa lalu yang bermanfaat menjadi kebanggan masa kini.
Warisan itu diwujudkan dalam explicit knowledge, yang
sangat kita perlukan dalam memantapkan konsepsi ketahanan budaya lokal etnis
oleh generasi masa kini dan generasi penerus dalam menghadapi tantangan masa
mendatang.
BAHAN BACAAN
·
Abbas, Ibrahim (1999), Pendekatan Budaya Mandar.
·
Hamid, Abu (1986). Bingkisan Budaya
Sulawesi Selatan. Makassar : Antropologi Unhas.
·
Budi Santoso (1997), Pembangunan Nasional Indonesia dengan
Berbagai Persoalan Budaya dalam Masyarakat Majemuk.
·
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan (2005), Informasi
dan Potensi Investasi Pariwisata Sulawesi Selatan
·
Djauhari Sumintardja (1998), Kompendium Sejarah Arsitektur
·
Djauhari Sumintardja (1988), The House in Tana Toraja
(Traditional Housing in Indonesia).
·
Faisal (2007), Arsitetur Tradisional Mandar Provinsi Sulawesi
Barat
·
Josef Prijotomo (1988), Pasang surut arsitektur di Indonesia
·
Koentjaraningrat (1993), Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan
·
Kostof, S. (1991), A History of
Architecture. Rituals and Settings.
·
Mangunwijaya,YB, (1992) Wastu
Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya
Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
·
Mattulada (1982), Geografi Budaya
Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Depdikbud
·
Nasrul Baddu (1990), Rumah tradisional Bugis Makassar
·
Ronald Arya (2005), Nilai-nilai Arsitektur Tradisional Jawa
·
Rudofsky, B. 1964. Architecture
Without Architects.
·
Sampebulu, DR, Ir, M.Eng, (1990), Tradisionalisme dalam arsitektur
masa kini
·
Saliya Yuswadi, Ir, M.Arch, (1992), Ragam Hias dalam arsitektur
Tradisional Toraja
·
Sachary, A. (2005). Pengantar
Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Desain, Arsitektur, Seni Rupa, dan Kriya.
·
Tangdilintin, LT, (1979), Tongkonan (Rumah adat Toraja) dengan
struktur seng dan konstruksinya.
·
Tjahjono, G. Editor. (2001). Indonesian
Heritage. Vol. 6. Architecture.
·
Tuan, Y.F. (1974).Topophilia. A Study of Environmental Perception, Attitudes, and
Values.
·
Tang, Mahmud (1998), Reaktualisasi Nilai-nilai budaya Bugis
Makassar dalam Kehidupan Sosial Pada Era Revormasi.
·
Rinwar Karim, Muktahim, Adnin Sakti, (1992), Arsitektur
tradisional Bugis Makassar.
·
Yudono Ananto, Prof, DR, Ir, MSc, (2008) Kearifan arsitektur
tradisional rumah panggung dalam hunian modern.
Wikantari Ria, DR, Ir, M.Arch, (2008), Kearifan arsitektur lokal
Kawasan Timur Indonesia : Tinjauan Ragam Lintas Etnik
0 komentar: